2. Desiran Salju

233 28 11
                                    

SATU KESIALAN lagi hari ini: Saat melewati jalan setapak menuju rumah yang berkerikil, ban depan sepedaku bocor karena melindas sebuah batu kecil panjang yang ujungnya runcing. Aku terpaksa menuntunnya sejauh satu kilometer. Keringat membasahi seragamku hingga menjadi lengket.

Ya ampun! Ada-ada saja hari ini.

Matahari telah sempurna lenyap ketika aku sampai ke rumah. Dari luar, rumahku gelap sekali, hanya disinari temaram lampu jalan di kejauhan yang mati-hidup tak jelas. Tidak ada hawa-hawa keberadaan manusia lain di sini. Pasti tua bangka itu masih asyik keluyuran entah ke mana.

Setelah memarkirkan sepeda yang tertusuk batu sialan dan berjalan melewati halaman kecil rumah yang jauh dari kata rapi, diriku yang berdiri di depan pintu rumah melirik ke kiri dan ke kanan, memeriksa sekitar, lantas mengangkat keset dan mengambil sebuah benda di bawah sana. Kunci rumah. Di bawah keset. Ah, klise sekali. Bisa jadi kalau rumah ini sedikit lebih mewah, maling akan mudah sekali masuk dan berpesta pora di dalam. Sayangnya, rumah ini tidak sebagus itu.

Kurebahkan tubuhku yang babak belur ini di atas ranjang busa setelah masuk kamar. Cahaya bulan menyelinap ke dalam ruangan melalui jendela kamarku yang terbuka. Suara derik serangga di luar meningkahi kesunyian.

Hari ini hendak berakhir ya. Dan, tampaknya, hari esok bakal menyambut dengan hal-hal yang tak terduga lainnya.

Kenapa? Setidaknya tak bisakah kau memberikan kabar gembira buatku, wahai penguasa hari? Sudah tak dapat kuhitung dengan jari berapa kabar buruk yang menimpaku belakangan ini. Dan, yang membuat kesal lagi, justru sebaliknya. Jari-jari tanganku malah tersisa banyak saat kuhitung berapa kabar gembira yang kau berikan padaku. Kau begitu mengecewakan, wahai hari-hariku. Aku berharap kau akan menjadi lebih baik lagi, selalu. Namun, apa yang kudapat?

Kusentuh hidungku, kupijat-pijat dengan lembut. Rasa sakitnya masih terasa, walaupun sudah mulai berkurang. Darah yang tadinya mengalir juga sudah sepenuhnya tersumbat oleh darah beku. Meskipun demikian, entah kenapa aku merasa kepalaku agak pusing.

Aku menatap langit-langit. Lengang. Suara kipas angin memenuhi ruangan. Kemudian kualihkan pandangan ke penjuru ruangan ini. Poster wajah Haruki Murakami dan beberapa penulis Jepang lainnya--hadiah dari si Pria Tua--tertempel gagah di tembok samping jendela, walaupun dengan kondisi yang tidak kinclong-kinclong amat.

Selanjutnya, lemari buku yang terisi penuh berdiri di samping meja belajarku, yang juga terdapat beberapa tumpukan buku. Bukan buku-buku baru. Mungkin hanya sesuatu yang biasa diterima tukang loak. Sebuah ukulele tergantung di atasnya. Benda itu juga diberikan oleh si Pria Tua beberapa waktu lalu. Katanya, ia sudah bosan memainkannya. Jadi, ia memberikan benda tersebut padaku--walaupun aku sudah sempat menolak karena tak sekalipun pernah memegang alat musik, apalagi memainkannya. Orang itu memang sering kali memberiku barang-barangnya yang sudah tidak terpakai. Tunggu dulu, mengapa aku senang diperlakukan seperti tempat sampah?

Memikirkan si Pria Tua, aku jadi teringat dengan paket misterius yang diberikannya. Aku pun bangun dari kasur, meraih tas sekolahku yang tergeletak di lantai. Setelah terambil, kuangkat tinggi-tinggi bungkusan itu. Sebenarnya, dari bentuk luarnya, paket dengan simpul tali sederhana ini mudah saja ditebak jika akan berisi buku.

Namun, aku benar-benar penasaran benda berwarna coklat apa yang digunakan untuk membungkus buku ini. Kusentuh, sedikit kasar, tak cocok dengan tekstur kertas pada umumnya. Kubaui, tercium bau wangi bunga samar-samar. Tak tau bunga apa, namun instingku berkata kalau ini wangi bunga. Aneh, bungkus yang aneh. Jawaban yang paling memungkinkan adalah kulit yang sudah dikeringkan, lalu diberi semacam parfum. Ada ya, bungkus paket seperti itu?

Aku mengambil gunting di atas meja belajarku. Setelah kulepas simpul talinya, yang sepertinya terbuat dari serat-serat tumbuhan, aku menusukkan bilahnya ke sekeliling permukaan paket. Sebuah buku, 'kan? Sudah kuduga. Buku dengan sampul kulit, namun kulit yang halus dan enak disentuh. Di sisi depan dan belakang, tak ada tulisan apa pun. Judul, nama penulis, atau sebagainya. Tak ada. Kubuka halaman per halaman sekilas.

Hari-Hari Terakhir AmandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang