✨ PORTION

106 16 14
                                    

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Dokter muda yang siang tadi memeriksaku.

"Soal apa?" Aku bertanya balik.

"Selamat dari maut."

Aku memberi jeda beberapa detik sebelum menjawab.

"Sama seperti perasaan orang yang ingin hidup lama tapi tiba-tiba dijemput malaikat maut. Aku rasa seperti itu."

"Dunia ini memang kejam kan?" Ujarnya sembari memeriksa pergelangan tanganku.

"Dokter tau apa soal kejamnya dunia?" Aku memalingkan muka.

"Setiap orang mendapat porsinya masing-masing. Saat itu, mungkin kau merasa porsimu terlalu banyak. Yang harus kau lakukan hanya menerima dan menikmati setiap prosesnya. Tuhan tau kau cukup kuat. Jangan melakukan tindakan bodoh atau kau akan menyesalinya."

Aku memikirkan kalimatnya barusan. Dia benar. Aku memang merasa porsi yang Tuhan berikan padaku sangat banyak hingga aku tak mampu lagi menerimanya.

"Menjadi seorang Dokter juga tidak mudah kan?" Ujarku lirih, mungkin tak didengar olehnya.

"Aku Hori Natsu, dokter yang bertanggungjawab atas dirimu. Hubungi aku jika kau butuh teman bicara atau sekedar teman makan es krim." Bisiknya membuat raut mukaku berubah.

"Begitu kan lebih baik."

"Hah?" Aku menerjapkan mata.

"Senyum di wajahmu." Dia menunjuk lesung pipi di pipi kiriku.

Aku menelan saliva. Apa Dokter diizinkan melakukan hal seperti ini? Aku berdecak tapi senyum di wajahku belum hilang. Sudah lama sekali aku tidak tersenyum.

"Rupanya kau suka dengan Dokter itu ya?"

"Nakao? Sejak kapan kau di sana?" Kulihat sekeliling dan rupanya Dokter Natsu sudah pergi.

"Bagaimana kau bisa menyadari kehadiranku? Daritadi kau senyum-senyum seperti tidak waras." Gerutunya masih mematung di dekat jendela.

"Siapa yang senyum-senyum? Ini namanya senam wajah." Aku berusaha mengelak.

"Terserah kau saja. Ayo kita makan." Dia memberikanku sebungkus es krim.

"Dimana kau mendapatkannya?"

"Di kantin rumah sakit."

"Memangnya pasien boleh membeli ini?" Tanyaku lagi karena penasaran.

"Sejak kapan kau berubah jadi wartawan? Kau ini pasien rumah sakit, jadi jangan banyak tanya. Sudah makan saja."

Tapi aku benar-benar penasaran.

"Mau makan atau tidak?" Tanyanya mengkonfirmasi.

Aku mengangguk cepat kemudian membuka bungkus es krim coklat kesukaanku. Aku mencoba mengingat sesuatu tapi tidak bisa. Pikiranku menolak memutar kenangan masa lalu.

"Nakao?" Panggilku.

"Mau tanya apa lagi?"

Apa raut wajahku terlihat seperti ingin bertanya?

"Darimana kau tau kalau aku boleh makan es krim? Apa Dokter Natsu memberitaumu? Atau jangan-jangan kau mendengar pembicaraanku dengannya tadi?" Tebakku asal bicara.

"Kalau tidak boleh, aku tidak akan membelikanmu es krim lagi."

"Bu.. bukan begitu. Hanya saja seperti kau bisa membaca pikiranku."

"Maksudmu, aku seperti cenayang?"

"Jika iya, aku penasaran apakah aku akan panjang umur? Atau apakah aku akan bahagia di masa depan?" Aku terkekeh menatapnya.

Dia tidak menjawab. Mungkin karena aku bicara omong kosong.

"Aku hanya bercanda. Mana mungkin kau bisa melakukan itu?"

Dia tersenyum kecil sembari lanjut melahap es krim rasa stroberi di sampingku. Suasana hatiku menjadi lebih baik setelah makan yang manis-manis. Namun sebagian hatiku masih terasa pedih.

Dokter, sepertinya aku akan menerima porsi yang diberikan Tuhan padaku. Dan aku tidak harus memanggilmu untuk menemaniku makan es krim. Karena aku sudah punya seorang teman.

Terima kasih, Nakao. Tidak buruk juga berteman denganmu. Baru kali ini aku merasa seseorang benar-benar tulus padaku. Aku juga tidak sadar kalau sedari tadi aku tersenyum bersamanya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
So many stars ✨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang