Pagi itu, saat sang mentari menyinari dengan malu-malu kampung kami. Timbul tenggelam dibalik awan yang beriringan seperti domba-domba merino. Di belakang punggung awan gemawan yang putih itu terlihat kampung kami yang berpola linear mengikuti sungai terpanjang di Sumatra. Itulah sungai Batanghari Bentuknya berkelok-kelok persis seperti seekor ular naga sepanjang 800 KM yang ujung buntutnya berada di gunung Rasan dan ujung moncongnya berada di Selat Malaka.
Di ujung moncong sang naga ini lah kami tinggal. Tepatnya di sebuah kampung nelayan pesisir yang disebut kampung laut. Di sebuah jalan yang hanya terbuat dari papan kayu Meranti Shorea spp yang telah berlubang-lubang badannya seperti terkena tembakan peluru tajam. Papan-papan itu hanya disanggah tiang-tiang kayu nibung di atasnya sehingga seperti mengapung di atas air saat air pasang naik. Di sana aku yang saat itu baru berumur 6 tahun digandeng oleh ibuku.
Hari ini adalah hari yang istimewa. Dimana untuk pertama kalinya aku anak seorang nelayan miskin di sebuah kabupaten yang berkapita paling rendah di Jambi akan mengenal dunia baru yang di sebut orang intelek sebagai dunia pendidikan. Senang rasanya membayangkan aku akan bersekolah. Bersekolah terdengar keren untuk anak pesisir yang hidup dirumah panggung beratap ijuk dan berdinding papan lapuk. Bersekolah seperti sebuah tempat yang menyenangkan, yang mampu menghiburku dimana saat musim gelombang besar, penghasilan tak menentu bahkan hampir semua nelayan tak memiliki uang untuk membeli beras untuk keluarganya. Bersekolah seakan mampu mengangkat ku dari lembah kemiskinan ini naik menjadi orang yang lebih bermartabat.
Namun harapanku seakan surut saat melihat jalan mulai bergoyang kekiri dan Kekanan seperti jembatan Royal Gorge di corolado. Ibuku makin erat memegang ku. Sambil melangkah perlahan kami mencoba menyeimbangkan tubuh. Ibuku adalah wanita yang mampu mengerjakan segalanya. Dari memasak, mencuci, menyapu, menjalin pukat, membelah ikan, mengupas kelapa, sampai memanjat pohon di sanggup demi anaknya. Hanya satu kelemahannya yaitu tak bisa berenang.
Ibuku yang lahir di sebuah kampung di pinggir hutan. Saat baru berusia 14 tahun sudah dipinang ayahku dan diboyong ke sebuah kampung dipinggir sungai yang jika kita berlayar terus ke timur akan sampai ke kepulauan Riau dan laut cina selatan. Sehingga dalam kamus hidupnya berenang adalah mustahil. Air sungai sedang jinak namun terlihat mengerikan dengan rupanya yang coklat, keruh dan kusam. Jika kami terjatuh ke sungai itu maka otomatis mayat kami akan hilang tenggelam di laut cina selatan.
Tak ada jalan lain seperti di tempat lain di kampungku yang memiliki jalan yang tembus menembus. Jalan ini adalah jalan utama jika kami mau ke sekolah, ke masjid dan kepasar. Tempat kami khususnya di parit 3 Ilir merupakan tempat paling ilir dari kampungku sehingga dia seperti terisolasi oleh sungai, rawa-rawa dan hutan. Tak ada pohon di kiri kanan jalan bergoyang itu. Karena tiang jalan itu saja tingginya 10 meter untuk mencegah air naik sampai ke atas papan jalan. Tiang-tiang nibung itu sendiri tertancap diatas tanah Gleisol Humik.
Dan terasa muskil sekali jika ada pohon yang mampu hidup di tanah berlumpur, sedikit berpasir dan sangat miskin unsur hara. Hanya jauh di sebelah kiri kami sekitar 500 meter, dan jenis tanahnya adalah Organosol Humik terdapat pohon pidada Sonneratia caseolaris terlihat melambai-lambai lembut seakan sedang menyapa kami sekaligus mengingat kami agar lebih berhati-hati. Buah pedada Sonneratia caseolaris berbentuk bulat sebesar bola kasti, ujung bertangkai, dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga. Buahnya bergelayutan dengan malas di tiup-tiup angin. Sedangkan bunganya masih tertidur hanya akan bangun saat malam ketika kelelawar dan ngengat datang untuk menyerbukinya.
Sementara itu di samping pohon pidada Sonneratia caseolaris ada pohon Excoecaria agallocha yang mengandung getah berwarna putih pekat yang diduga dapat memberikan iritasi dan buta sementara apabila getah tersebut terkena mata dan kulit kita. Akibat getahnya itu pohon ini dijuluki penduduk kampung kami dengan sebutan pohon buta-buta.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIOPIA (Telah Terbit)
Teen FictionMohon maaf untuk kepentingan penerbitan berapa bab di unpublish...