Aku menyesal karena menolak ditemani Lucas. Aku menyesal karena tidak mau saat Dito akan mengantar kemana pun aku mau. Harusnya aku menurut, saat Sheila mengatakan agar aku pulang dan beristirahat saja. Sepertinya belakangan ini aku terlalu memforsir tenaga untuk pembukaan Moshei hingga kelelahan dan berujung pada halusinasi. Dan ... halusinasiku benar-benar parah sekaligus mengerikan.
Aku sampai harus berjam-jam duduk di depan sebuah toko yang tutup untuk menghindari keramaian dan mengembalikan kesadaran.
"Sudah sampai, Mbak."
Aku mendongak, kemudian menyadari bahwa taksi online sudah berhenti di depan rumah. Segera aku membuka pintu dan turun setelah berterima kasih. Mobil berlalu. Aku menghela napas, menatap rumah berlantai dua Ayah yang masih terlihat terang benderang karena lampu-lampu di halaman belum dipadamkan. Memasuki pintu gerbang, aku mengernyit heran ketika melihat beberapa mobil berjejer di sana. Jelas aku kenal betul itu milik siapa saja. Mobil Ayah, Mbak Rana, Lucas, Dito dan ... Jovan.
Mereka ... di sini?
Aku menggeleng pelan. Mungkin mereka punya urusan dengan pamannya. Mungkin juga Lucas sedang berniat merealisasikan janjinya untuk menginap. Sayangnya aku sedang tidak dalam keadaan baik saat ini, jadi tidak bisa mengobrol banyak dengan saudara sepersusuanku itu. Aku sedang lelah sekali. Seperti yang sering terjadi, aku hanya ingin tidur setelah diserang halusinasi.
Aku tidak pernah lupa bagaimana buruknya halusinasi yang kualami setiap kali ia datang. Sering sekali, dimulai enam tahun lalu, aku berhalusinasi atau entah bermimpi tentang Ayah atau Ibu yang menelepon. Mereka bilang bahwa aku bukan tersangka. Bahwa perempuan itu masih hidup. Bahwa aku bukan kriminal. Halusinasi itu selalu menghantamku, kemudian aku akan terkena serangan panik, melakukan sesuatu yang dibenci Lucas, kemudian jatuh tertidur.
Siklus itu selalu berputar tiap kali aku berhalusinasi tentang telepon dari keluarga yang mengatakan bahwa perempuan itu masih hidup. Hanya suara mereka. Bahkan sekali pun tidak pernah aku melihat halusinasiku mewujudkan sosok yang katanya masih hidup. Baru malam ini. Dan itu sangat melelahkan. Sekarang aku hanya mau tidur. Tenagaku terasa habis.
"Momo!"
Kakiku terpaku di atas lantai, saat Ibu berseru keras setelah aku membuka pintu. Dia langsung berjalan cepat dan menerjangku ke dalam pelukannya.
"Kamu dari mana, Sayang? Kenapa hp-nya nggak diaktifin?"
Apa benar ponselku mati? "Aku dari pasar malam, Bu."
"Kenapa pulangnya lama sekali? Ini sudah lewat hampir tengah malam." Ibu melepas pelukan dan membingkai wajahku dengan tangan. "Ibu, Ayah dan semuanya khawatir banget sama kamu."
Benarkah ini sudah hampir tengah malam?
"Kamu baik-baik saja?" Ayah mendekat, mengusap pipiku dengan lembut.
"Tentu saja, Ayah."
"Momo."
Aku menoleh. Sheila berdiri di sana, di sebelah Dito. Wajah mereka kelihatan tegang dan lega secara bersamaan. Dia mendekat, kemudian menceritakan betapa bingung dan khawatirnya ia karena mendapat kabar dari Ibu bahwa aku belum pulang. Aku hanya tersenyum dan mendengarkan dengan sabar.
"Rana, telepon Nau. Nanti dia ngamuk di kantor polisi kalau laporan kehilangannya nggak diterima."
"Iya, Bu."
Setelah melepas pelukan Sheila, aku membalikkan badan. Melewati seseorang yang memakai jas dokter untuk menghampiri Lucas yang tersenyum lembut, merentangkan sebelah tangan. Aku berhambur masuk ke pelukannya. Singkat, namun sudah cukup untuk memenangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mōichido (Repost Still Full)
ChickLitMiniseri #2 Moza pernah melakukan kesalahan fatal, hingga Jojo tak sudi lagi melihat wajahnya. Keluarga besar yang selalu memanjakannya, berbalik menyalahkan dan menghakimi. Tak ada pilihan terbaik selain membentangkan jarak dan mengasingkan diri. D...