Aku membuka kelopak mataku ketika merasakan ada tangan yang memelukku dari belakang. Begitu kubalikkan badan, wajah tampan itu yang lagi-lagi memanjakan indra penglihatanku. Begitu ia menatapku, aku memberinya senyum yang kemudian ia balas dengan ciuman pada dahiku. Aku menatapnya lamat-lamat. Wajah itu, wajah yang membuat orang-orang takkan puas jika hanya menatapnya satu atau dua kali. Senyuman itu juga yang tak akan mampu untuk membuatku berpaling darinya.
"Baru pulang?" Aku bertanya sembari menyentuh pipinya dengan telapak tanganku.
Ia mengeratkan pelukannya padaku, "Sepuluh lebih empat puluh satu." Dan seperti biasa, ia akan menjawab dengan pukul berapa ia pulang tadi.
Aku melirik jam yang ada di atas nakas yang terletak di belakang tubuh lelaki yang kupuja ribuan kali itu, sebelas lebih empat menit. Melihat rambutnya yang masih agak basah dan tubuhnya yang menguarkan aroma segar khas sabun mandinya, aku dapat berasumsi bahwa ia telah mandi. Ditambah pula ia juga sudah mengenakan pakaian kasual kesukaanya, kaos putih pendek dengan celana kolor pendek pula.
"Mau kubuatkan apa? Kau belum makan, bukan?" Aku melepas pelukannya dan hampir bangkit dari tidurku, sebelum tangannya segera menangkap diriku dalam pelukannya lagi. Dan aku hanya bisa tertawa geli kala ia mulai mengecup leher dan bahuku yang terbuka.
"Hey hey hey, stop it. Kau butuh makan, jangan memelukku terus." Aku meperingatinya dengan telapak tangan yang menutup bibirnya.
Ia melepas telapak tanganku dari bibirnya, kemudian mencium punggung tanganku dengan pelan. "Aku sudah makan, yang kubutuhkan saat ini hanya dirimu tetap di sini, di dalam pelukanku." Ia berbisik dengan suara beratnya di samping telinga kiriku.
Aku kemudian meraih wajahnya, merangkumnya dengan kedua tanganku, kemudian menyentuhkan hidungku pada hidungnya yang mancung. Dengan pelan, kemudian kudekatkan bibirku untuk segera meraih bibirnya. Kukecup lembut bibir miliknya yang beraroma mint dan agak dingin, barangkali dingin ketika ia mandi tadi.
Ia balas melumat bibir bawahku, kemudian menyesapnya, dan menggigitnya dengan pelan. Tak kuasa dengan godaan dari permainannya pada bibirku, aku balas melumatnya, berusaha mereguk sedikit demi sedikit rasa manis dari bibirnya yang adiktif itu. Kurasakan tangannya merambat naik hingga pada tengkukku dan berakhir dengan di belakang kepalaku. Ia menahan tangannya di sana seraya ia memperdalam ciumannya. Kemudian kami saling bercumbu dengan panas, saling melumat, menjelajahi gigi, berperang lidah hingga suara kecapan memenuhi ruang kamar.
Kami begitu menikmati, hingga tak tahu entah berapa lama kami saling mengeksplor bibir. Akhirnya, sesi ciuman panas itu ia sudahi dengan menyesap bibir bawahku. Kami masih terengah-engah setelah ciuman yang membuat kinerja jantung menjadi berpacu dua kali.
"You're such a good kisser definitely." Aku tersenyum, kemudian mengusap bibirnya yang membengkak.
"And God in bed? God of s---" Segera kupotong ucapannya---yang sudah dengan pasti akan melanglang buana dengan yang tidak benar---dengan menjepit hidungnya. Dan ia mengaduh ketika kujitak dahinya pula dengan kencang, kemudian tertawa konyol.
"Sudah, ayo tidur, ini sudah malam." Kuajak ia tidur, kemudian melingkarkan tangan kiriku pada lehernya. Ia balas memelukku dengan erat dan menyusupkan lengan kirinya ke bawah leherku untuk menjadikannya bantal untukku. Ah, pelukannya adalah tempat teraman, terhangat, dan ternyaman untukku. Pelukannya adalah tempat untukku pulang. Dan aku diam-diam menarik kedua sudut bibirku, mengecup rahangnya, yang kemudian ia balas dengan kecupan di keningku. Kami memejamkan mata dan terlelap dengan pelukan nyaman.
-----
Suara keras dari alarm handphone di atas meja membuatku memekik terkejut. Menatap jam digital dari atas nakas, aku segera bangkit untuk bersiap. Sial, sudah jam tujuh ternyata, aku kesiangan. Bagus, jika dalam waktu lima belas menit aku belum berada di kantor, aku yakin akan segera menjadi seorang pengangguran. Double shit! Dengan begini, aku tak ada waktu untuk mandi. Baiklah, tidak mandi tidak masalah, yang menjadi masalah adalah ketika aku ketahuan tidak mandi.
Selesai bersiap, yang tentunya terpaksa tanpa mandi, aku segera berangkat. Bagus, tujuh lebih tujuh menit. Peruntunganku untuk tidak segera menjadi seorang pengangguran masih ada delapan menit. Nasib seorang karyawan magang yang sudah pernah mendapat peringatan, tentunya aku tak boleh terlambat jika tak ingin kehilangan pekerjaanku. Damn it! Bahkan sekarang tinggal tujuh menit.
Kabar baiknya, aku berhasil sampai tepat waktu meski harus mempertaruhkan nyawa untuk mengebut dengan motorku yang butut. Dan kabar buruknya adalah penampilanku yang begitu amburadul dengan point tambahan---dengan artian yang negatif tentunya---tidak mandi. Oh, triple shit! Sungguh pagi yang indah untuk menabung umpatan.
Aku baru ingat jika hari ini ada perkenalan dari anak pemilik perusahaan tempatku bekerja. Ia akan menjadi pimpinan tentu saja, sungguh takdir manis menjadi anak sultan. Nasib indah memang selalu berpihak pada uang dan kekuasaan.
Aku bergegas keluar dari toilet begitu mendengar seruan dari temanku untuk segera menghadiri acara perkenalan anak sultan tersebut. Mataku melotot, membelalak terkejut, dan jantungku bagai dipukul godam yang kemudian berpacu dengan kurang ajar bagai tak memiliki akhlak.
Holyshit! Ia memperkenalkan diri sebagai anak sultan, yang tentu saja akan menjadi atasanku, yang dengan segera akan menjadi seorang pimpinan. Ia tersenyum, kemudian tatapannya ia tujukan kepadaku. Senyuman yang terlihat ganjal itu membuatku semakin melotot ngeri di tempatku mendudukkan diri. Sialan, itu bukan senyum, itu adalah smirk.
Ternyata ini memang pagi yang bagus untuk mengumpat. Kesialan yang beruntun. Son of a bitch! Pria yang setiap malam hadir di mimpiku ternyata memang ada. Aku sungguh ingin berteriak dengan kencang saat ini.
Lucid dream sialan. Anak sultan sialan. Tahu ia memang benar-benar ada di dunia tempatku berpijak, aku tak akan pernah berlaku manis padanya. Dios mio! Aku sungguh malu saat ini.
'Oh, santai, ia tak benar-benar hadir dalam mimpiku selama ini. Ia tak mengalami lucid dream seperti yang kualami selama ini. Hanya aku saja yang mengalami di sini, ia tak tahu apa-apa. Stay calm.' Pemikiranku yang lebih seperti meyakinian diri itu diam-diam membuatku tersenyum lega.
Akan tetapi, ketika mengingat senyumnya yang ganjil tadi, seketika aku menjadi ragu dengan keyakinanku.
Motherfucker!
