Part 3: Her Sound

18 3 0
                                    

Setelah perhelatan drama yang cukup meriah di kelas, dibintangi oleh Riska, Hana dan tentu saja diriku, kami berdua dipanggil ke ruang Kepala Sekolah pada Jum'at pagi.

Kami berdua pun berjalan bersama menuju ruang Kepala Sekolah. Hana berjalan menunduk menghindari semua tatapan mata guru sambil terus mengikuti langkahku menelusuri lorong. Kami pun sampai di depan ruangan Kepala Sekolah yang berada di ujung lorong.

Pak Kuswara namanya. Atau lebih akrab disapa Pak Koko oleh kami, karena dia kerap memakai baju 'Koko' yang biasa dipakai oleh pria muslim pada umumnya ketika tidak kedatangan tamu dari Disdikpora. Selain sebagai Kepala Sekolah, dia juga seorang Ustadz. Jadi aku bisa sedikit mengerti kenapa beliau lebih nyaman mengenakan baju itu di saat santai.

Aku mengetuk pintu kayu itu dengan tangan yang sedikit bergemetar. Rasa gugup seperti menjalar di setiap celah saraf pusatku.

"Ya, masuk ...." ucap sebuah suara pria, sedikut berat dengan intonasi yang tegas.

"Permisi." Aku pun membuka pintu dengan perlahan. Pak Koko sudah di mejanya sembari mengerjakan tumpukan dokumen.

"Ah, Nak Arjuna dan Hana ... silahkan masuk," ucap Pak Koko sambil mengulurkan tangannya ke sofa.

Aku pun masuk dan duduk di sofa.

Hana terlihat sangat gugup dan ia terus menekuk-nekuk jemarinya. "It's okay ...." ucapku pada Hana. Ia pun duduk di sampingku dengan menundukan kepala.

Pak Koko berpindah dari meja kerjanya ke sofa di hadapan kami, tatapan matanya sangat teduh. Aku tak merasakan adanya intimidasi sedikit pun gesture tubuhnya menunjukan bahwa ia siap untuk mendengarkan semuanya.

"Jadi ...." ucap Pak Koko memecah keheningan. "saya rasa kalian berdua sudah tahu alasan kenapa dipanggil kemari."

"Iya," jawabku singkat.

Pak Koko menghela napas, "Baik, Haruka ... kamu bisa ungkapkan semuanya?"

Hana terdiam, aku tahu dia ingin sekali berbicara. Namun, pikirannya pasti membeku. Membuka aib tentu bukan perkara mudah, apa lagi dengan orang yang begitu asing. Aku menatap Pak Koko dan menggelengkan kepala, sebuah isyarat agar aku saja yang bercerita.

"Kalau begitu, Nak Arjuna tolong jelaskan semuanya."

Lidahku kelu untuk sesaat, akan tetapi perasaanku terhadap Hana memberiku keberanian untuk bersuara. Aku pun menjelaskan alasan kenapa Hana membawa 'benda' itu ke sekolah, penegakan peraturan yang berujung perundungan, berikut masa lalu Hana yang begitu kelam. Semua aku beberkan tanpa mengurangi fakta sedikit pun.

Napas Pak Koko terdengar begitu berat, ia terlihat begitu geram dan juga terharu setelah mendengar semua pemaparanku. Sedangkan Hana, ia meremas rok di ujung lututnya hingga kusut. Aku tak bisa membayangkan rasa sakit yang ia rasakan.

Pak Koko beranjak dari sofa dan mencari sesuatu di rak kayu yang berisikan ratusan map dokumen berjejer rapih. Ia pun menarik sebuah foto yang sedikit usang dan meletakannya di hadapan Hana.

"Apa dia ibu kandungmu?" tanya Pak Koko sembari menunjuk salah satu alumni.

Wajah Hana begitu terkejut melihat perempuan yang ditunjuk. Aku pun ikut penasaran dengan sosok itu dan sedikit menyondongkan badanku. Mata perempuan itu dan mata Hana begitu mirip, bahkan aku sampai tak percaya melihatnya, aku seperti melihat diri Hana di foto itu.

"Ibu kamu," Pak Koko menahan ucapannya dan mengusap air mata di pelupuk matanya. "dia dulu adalah murid saya, sewaktu saya masih jadi guru honorer di sekolah ini, dia murid yang pandai dan keras kepala.

Dia bersikeras untuk pergi ke Jepang setelah lulus dari sini. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya saat itu, 17 tahun kemudian, tepatnya sebulan yang lalu, dia datang ke sekolah ini dan memohon kepadaku untuk menyekolahkan kamu di sini. Saya menyetujuinya setelah semua persyaratan terpenuhi, akan tetapi dia tidak memberi tahu masalah keluarganya saat di Jepang."

JENDELA KELASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang