Setelah dibuat terkejut oleh tulisan tangannya yang sangat kukenal itu, aku berpikir keras hingga tiga hari. Tapi aku masih tidak bisa menemukan jawaban yang tepat. Ya, aku sangat ingat dulu Rumi pernah bilang bahwa Jovan menyukaiku. Tapi aku masih sulit percaya, karena itu dikatakan saat dalam keadaan emosi. Jadilah hari ini aku meminta bertemu dengannya, di ruang kerjaku.
"Ini apa?"
Aku menunjuk tumpukan buku harian yang kutaruh di meja, sesaat setelah Jovan datang. Dia kelihatan terkejut, tapi dalam sejenak bisa mengendalikan ekspresinya sendiri. Justru kondisi wajahnya yang penuh luka lebam, menjadi perhatianku. Tiga hari berlalu, tapi bekas pukulan Bang Naufal masih sangat jelas. Mungkin saking kalapnya dia dipukuli waktu itu.
"Mo."
Aku menarik napas, mengambil salah satu buku dan membuka tepat di halaman paling akhir. "Ini apa?"
Matanya menajam pada tulisan tangan berisi puisi itu. Tidak ada yang istimewa sebenarnya, karena itu adalah kutipan puisi Sapardi Djoko Damono berbunyi,
dalam magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
perlahan dari nun jauh di sana, bersijingkat di jalan kecil itu,
menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh-nyentuhkan
pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu matakudalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah
batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang
tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupankuaku mencintaimu, itu sebabnya aku tak pernah selesai
mendoakan keselamatanmu"Mo," Jovan mengusap wajah, menarik embuskan napas. Sementara aku masih mempertahankan wajah sedatar mungkin. "Maaf."
"Aku nggak mengharapkan maaf kamu." Aku mengambil buku-buku yang lain, membuka halaman terakhir satu per satu dan menunjukkan padanya. Semuanya berisi kalimat penuh rindu dan penyesalan."Aku tanya ini apa?"
Jovan mengusap wajah sekali lagi, sebelum dengan berani membalas tatapanku. Matanya menajam, nyaris meruntuhkan pertahananku. "Itu ... tulisanku."
"Buat apa?" Mataku memanas dan nada bicaraku meninggi. "Buat apa kamu nulis hal kayak gitu? Dan gimana bisa kamu baca semua buku harianku? Kenapa kamu lancang sekali?!"
"Maaf." Dia membasahi bibir, namun masih tetap menatap lurus ke mataku. "Aku tahu aku lancang. Aku tahu, masuk ke kamar kamu adalah kesalahan. Tapi aku harus apa? Gimana caranya aku meredam kerinduan di saat semua keluargamu sama sekali nggak kasih tahu, di mana kamu? Gimana caranya aku ngurangin siksaan waktu sadar kalau kamu ada di dunia, tapi aku sama sekali nggak bisa menjangkau kamu?"
Aku seketika bangkit. Menatapnya dengan segenap kemarahan yang ada. "Untuk apa kamu rindu? Untuk apa kamu tersiksa?!"
"Mo." Dia bangkit dan mendekat, tapi aku langsung mundur. "Aku–"
"Untuk apa kamu melakukan semua ini? Kamu benci aku, Jovan. Kamu nggak pernah balas perasan aku!" Aku terkesiap karena punggungku menabrak jendela kaca, sementara dia masih melangkah maju. Air mataku bahkan tak kupedulikan saat berderai. "Kamu ingat? Kamu buang aku dan–"
"Aku cinta kamu!"
Aku membeku. Menatapnya terperangah, tepat saat kakinya berhenti dua langkah di depanku. Matanya begitu tajam. Sedangkan degup jantungku begitu keras dan menggila.
"Aku sayang kamu. Aku gila karena kamu nggak lagi berputar di sekelilingku. Aku kacau karena nggak lagi punya satelit." Aku tertegun saat air matanya meluncur dari sudut mata. "Jadi saat Ayah kasih aku akses masuk ke kamar kamu di tahun ketiga kamu pergi, apa yang bisa aku lakukan selain menerima dengan senang hati? Cuma itu jalan agar aku merasa dekat sama kamu. Aku minta maaf karena lancang, tapi aku tidak pernah menyesal."
Air mataku menderas. "Kenapa?" Aku mengusapnya kasar dengan punggung tangan. "Kenapa kamu buang aku kalau begitu? Kenapa kamu bikin hidupku sehancur ini kalau memang apa yang aku rasakan ternyata berbalas? Kenapa kamu harus mengatakan omong kosong seperti ini? Apa tujuan kamu?!"
"Itu bukan omong kosong, Moza. Aku cinta kamu. Memang terlambat, tapi aku mencintai kamu sebanyak yang nggak bisa kamu bayangkan."
Aku tertawa dalam tangis. "Aku nggak akan bisa bayangin, karena kamu memang nggak pernah nunjukin itu. Semua yang kamu lakukan adalah wujud dari kebencian. Di mana letak cinta itu?"
"Maaf." Jovan mengusap sudut matanya. "Aku yang bodoh karena terpengaruh teman-temanku saat SMA. Aku yang terlalu naif sampai percaya bahwa kehadiran anak kecil agresif di sekitarku hanya bikin malu dan susah. Aku percaya saja waktu mereka menganggap aku adalah induk kamu. Aku yang terlalu tolol karena benci kamu, sebagai pelampiasan olok-olokan mereka. Aku yang nggak pernah sadar, kalau hatiku sudah terpaut ke kamu sejak hari pertama kamu datang bulan waktu itu."
Dia menatapku lekat. Sedangkan aku terdiam. Napasku tercekat karena pengakuannya.
"Aku tolol karena menganggap bahwa rencana membuang kamu adalah pilihan yang tepat. Aku yang nggak pernah sadar, Moza. Kalau rasa nggak suka tiap lihat kamu akrab sama Ale atau bahkan Dito, adalah bentuk cemburu." Dia tersenyum tipis, meski air matanya sama derasnya dengan milikku. "Lalu waktu aku pikir mungkin bisa terima kamu, masalah itu datang berupa Rumi. Aku nggak bisa mengabaikan rasa bersalah itu."
Kepalaku kembali berdenyut. Sakit sekali. Kenyataan ini masih sulit kuterima, meski sorot matanya yang sayu dan lemah menunjukkan kejujuran.
"Aku pikir, aku bisa. Aku terlalu sombong dengan berpikir bahwa sejauh apapun aku menjauh, kamu nggak akan pernah pergi. Aku nggak pernah memperhitungkan semuanya, sampai keadaan jadi kacau dan ... dan kamu ... kamu ... pergi dari jangkauanku."
"Tapi kamu bilang nggak sudi lihat aku lagi. Kamu bilang aku pantas lenyap. KAMU YANG BIKIN AKU PERGI!" Aku terisak-isak, menepis tangannya yang berusaha meraihku.
"Karena aku emosi waktu itu. Aku kacau. Dengan semua sifat kamu yang suka memukul mundur semua teman perempuanku, aku langsung percaya sama mereka." Dia berhenti. Punggung tangannya kembali mengusap pipi. "Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku yang lagi-lagi percaya sama orang lain daripada perempuan yang aku cintai. Aku yang berengsek dan bajingan."
Aku terisak. Tubuhku meluruh di lantai karena tak kuat menahan gemetar. Dadaku sakit sekali. Sangat sakit dan nyeri.
"Aku emosi waktu acara kumpul keluarga itu. Aku nggak bisa berpikir jernih." Dia menyusul, berlutut di depanku hanya bisa mengucek-ucek mata karena perih sekali. "Aku nggak pernah menyangka, kalau keesokan harinya kamu nggak bisa kutemukan. Aku hancur dan nggak tahu harus apa ... waktu seminggu kemudian Bang Nau bilang ... kamu pergi.
"Dia bilang kamu pergi diam-diam. Dia bilang, dia, Ayah dan juga Ibu sama sekali nggak tahu tempat kamu pergi. Aku hancur. Bahkan pukulan Bang Nau yang mengantarku ke UGD, sama sekali nggak ada apa-apanya dibanding kehancuranku karena kehilangan kamu."
Isakanku makin keras. Hari itu aku memang meminta pada Bang Naufal agar tidak memberitahu siapa pun, termasuk Ayah dan Ibu. Orang tuaku tahu aku ke Jepang, tiga bulan setelah itu. Karena aku masih terluka saat itu. Aku begitu kecewa karena tamparan Ayah. Dan aku ... tidak pernah menyangka Jovan akan seperti itu.
"Mo." Dia mengangkat wajah, tersenyum pedih. "Tolong hukum aku sebanyak yang kamu mau. Siksa aku sampai sebanding sama rasa sakit kamu. Tapi aku mohon, jangan minta aku hilangkan nama kamu dari kepalaku. Aku nggak bisa, Mo. Nggak akan pernah bisa."
Aku tidak tahu.
Aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Penuturan demi penuturan yang keluar dari bibirnya seolah menghantam seluruh sendi badanku. Kepalaku pening dan berkunang-kunang. Tubuhku bergetar hebat. Dan isak tangisku, sulit sekali untuk dihentikan.
"J-jo," aku memanggilnya terbata-bata di sela isakan. "Jo ... a-ku ... aku ha-rus gimana? Aku harus gimana?"
"Maaf."
Aku tersedu-sedu ketika sepasang lengannya membungkus badanku ke dalam dekapannya. Aku terlalu lemas dan lemah, hingga untuk menolak saja tak mampu. Sementara tubuhnya juga bergetar. Tak ada yang keluar dari mulutnya selain maaf dan maaf, seiring dekapnya yang menguat.
Lucas, tolong aku. Aku harus bagaimana?
***
Direpost 20 Mei 2022
Direpost 12 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Mōichido (Repost Still Full)
ChickLitMiniseri #2 Moza pernah melakukan kesalahan fatal, hingga Jojo tak sudi lagi melihat wajahnya. Keluarga besar yang selalu memanjakannya, berbalik menyalahkan dan menghakimi. Tak ada pilihan terbaik selain membentangkan jarak dan mengasingkan diri. D...