"Pulang yuk, Mo?"
Aku mendongak, menatap Sheila yang sudah menyandang tasnya. "Sebentar, masih mau nyelesaiin satu ini. Kamu dijemput Beni?"
"Iya, dijemput Beni." Sheila mendekat dan mengemasi barang-barang ke dalam tasku dengan cepat. "Yuk."
Keningku berkerut. "Shei."
"Nggak ada penolakan, ya. Kalau aku pulang, kita juga harus pulang. Sudah cukup dua jam kita lembur, tahu. Ingat, kamu harus cukup istirahat."
Aku tertawa kecil. "Oke-oke."
Setelah aku membereskan alat-alat kerja, kami turun ke lantai satu. Cuma tinggal kami saja memang, yang belum pulang karena harus lembur.
"Kamu dijemput Bang Luke?"
Aku mengangguk. "Dia juga sekalian mau ketemu Ibu."
Sheila mengangguk-angguk. "Besok jadwal konsul?"
"Iya." Aku tersenyum padanya. "Mau nemenin?"
"Mau!" Sheila cemberut kemudian. "Tapi kan aku harus fitting sama Beni."
Aku tertawa kecil. "Ya sudah. Dito juga udah bilang mau anter."
"Bang Dito." Sheila mengerling. "Bang Jojo kapan?"
Aku menatapnya yang tersenyum menggoda. Sejenak kemudian bahuku terkedik. "Kapan-kapan."
Sheila terkikik sambil memeluk lengan kananku. "Take your time, Mo. Aku sama Bang Dito juga belum puas kok lihat Bang Jo in process jadi budak cinta begitu."
Aku hanya geleng-geleng kepala. Kalau saja ini lima bulan lalu, aku mungkin akan bereaksi sinis atau malah jadi malas bicara dengan gadis cengeng satu ini. Orang bilang, darah lebih kental dari air. Karena itu juga sejak pernyataan cinta Jovan yang juga dia dengar dari luar waktu itu, dia jadi seperti menyisihkan tempat berpihak pada abangnya itu. Apalagi sejak bulan kedua konsultasi dengan psikolog berhasil membuatku mengendalikan emosi dengan baik, dia makin berani membicarakan tentang Jovan. Yang tentu saja tidak terlalu kuhiraukan.
"Lho, itu Bang Jo?"
Aku menoleh ke arah telunjuk Sheila, dan tidak terkejut lagi menemukan sosok Jovan yang sedang mengobrol dengan Beni. Ya, bagaimana bisa aku terkejut jika hal ini hampir tiap hari terjadi? Setidaknya setiap kali dia bisa pulang cepat dari rumah sakit.
"Sayang."
"Hei. Kalau udah sampai, kenapa nggak masuk?"
"Nggak apa-apa. Baru sebentar kok."
Sheila mengangguk-angguk di sebelah Beni. Kemudian menoleh ke arah abangnya. "Abang ngapain ke sini?"
Aku mengalihkan pandangan saat dia menolehke arahku. Aku sudah bisa menebak apa jawab-
"Jemput Moza."
Ya, bukannya aku terlalu percaya diri. Tapi serius, aku sudah mulai hapal.
"Dih." Sheila menarikku ke dekatnya sambil memutar bola mata. "Momo dijemput Bang Luke, ya."
"Mo." Dia kini menatapku. Dan aku tidak berniat memalingkan wajah lagi. "Kamu dijemput Luke?"
"Ya," jawabku singkat.
Dia diam. Masih menatapku lekat dengan mata tajam dan ekspresi datar, sebelum sepersekian kemudian dia mengembuskan napas pelan. Dan bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Oh, ya sudah."
Aku bisa melihat Sheila menyengir lebar. "Abang sih, nggak gerak cepat. Keduluan Bang Luke, deh."
"Sayang." Beni melayangkan tatapan teguran pada calon istrinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mōichido (Repost Still Full)
ChickLitMiniseri #2 Moza pernah melakukan kesalahan fatal, hingga Jojo tak sudi lagi melihat wajahnya. Keluarga besar yang selalu memanjakannya, berbalik menyalahkan dan menghakimi. Tak ada pilihan terbaik selain membentangkan jarak dan mengasingkan diri. D...