"Lamar?"
Dia mengangguk, masih dengan senyum cerah dan wajah berseri-seri.
"Kamu bercanda, kan?"
Dia menggeleng. "Aku serius."
Aku menggelengkan kepala, masih tidak percaya. Baru juga aku sampai di Moshei setelah sepagian ini jadwal konsultasi, aku sudah ditunggu olehnya. Dan yang membuatku tidak menyangka, dia memberitahukan hal semengejutkan ini.
"Kamu tidak suka aku melamar?"
"Ya suka!" Aku menjawab cepat, hingga membuatnya menaikkan kedua alis. "Tapi kaget aja tahu, Luke. Kamu datang-datang mendadak bilang gini. Gimana aku nggak kaget?"
Dia terkekeh. "Ini memang mendadak. Tapi aku sangat serius."
"Harus serius. Aku nggak mau ya, kamu mainin anak gadis orang. Aku laporin ke Mommy Sarah kalau sampai kayak gitu."
"Tidak perlu sampai membawa-bawa mommy-ku segala, Dear." Lucas tertawa kecil. "Walaupun Kila sepuluh tahun di bawahku dan baru beberapa bulan kami dekat, aku sangat serius. Aku tidak mau terlalu lama menjalin hubungan tanpa ikatan sah."
"Keren." Aku mengacungkan dua jempol. "Mau malam ini juga?"
Lucas mengangguk. "Doakan semoga lancar, ya."
"Pasti."
Lucas memang sudah cocok menikah di usianya yang tiga puluh dua. Entah apa yang membuatnya memilih sendiri sampai sekarang. Padahal setelah denganku, dia pernah menjalin hubungan juga dengan seorang perempuan Jepang. Tapi mereka putus karena perempuan itu tiba-tiba kembali bersama mantan kekasihnya. Waktu itu menurutku Lucas tidak terlalu kecewa atau terluka. Dia kelihatan baik-baik saja, karena hubungan itu berlandaskan perasaan nyaman, hampir mirip denganku.
Tapi sepertinya dia masih terus teringat kekasih pertamanya yang meninggal karena bunuh diri. Kata Lucas, perempuan itu mengakhiri hidupnya sendiri karena depresi akibat perceraian orang tua. Kehadiran Lucas di sampingnya juga tidak cukup berarti. Karena itu aku paham bagaimana terlukanya Lucas saat aku mencoba melenyapkan diri, di depannya. Itu adalah pertemuan pertama kami, setelah pernah beberapa waktu aku tinggal bersama keluarganya saat masih kecil.
"Are you alright?"
Aku hanya menatap laki-laki berwajah campuran Asia dan barat, yang berdiri menjulang di depanku. Saat itu, di bawah salju yang menyelimuti atap gedung apartemen, dia mengulurkan tangan untuk membantuku bangkit dari posisi tersungkur.
"Are you alright, Miss?"
"Don't take care of me!" Aku bangkit sendiri dengan susah payah dan menatap marah pada pria yang baru saja menarikku dari tepi atap itu.
"Sorry, but how come I don't care when a girl tries to jump off the fifteenth floor? In front of my own eyes?" Dia menggeleng pelan. Matanya terlihat gelisah dan suram. "Sorry, Miss. I still have to interfere."
"That's not your bussiness!" Aku kembali berteriak, sebelum memilih berlalu darinya. Lagi dan lagi, semesta menggagalkanku untuk lenyap. "So disturbing!"
"I'm sorry."
"Where are you going?" Tapi dia malah mengikutiku dengan santai. "Don't follow me!"
"But I have to. Or later I'll find you in a wretched state."
"What do you care? Go!" Tenggorokanku terasa sangat perih karena terus berteriak.
"Listen, Miss, life is very beautiful and precious. Why do you want to just throw it away?"
"Up to me. This is my life and don't try to lecture!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mōichido (Repost Still Full)
ChickLitMiniseri #2 Moza pernah melakukan kesalahan fatal, hingga Jojo tak sudi lagi melihat wajahnya. Keluarga besar yang selalu memanjakannya, berbalik menyalahkan dan menghakimi. Tak ada pilihan terbaik selain membentangkan jarak dan mengasingkan diri. D...