Bab 26

3.8K 641 66
                                    

"Capek banget aku hari ini."

Sheila cerita, begitu aku mengangkat teleponnya. Tadi seharian memang dia tidak datang ke Moshei, karena sedang sibuk mencicil segala urusan pernikahan.

"Besok kalau udah sah juga enak," balasku.

Sheila tertawa mendengarnya. "Oh ya, Bang Luke jadinya nikah kapan?"

"Nggak tahu." Aku tersenyum teringat cerita Lucas seminggu lalu. "Yang penting Kila udah terima dia. Harusnya secepatnya sih mereka nikah."

"Iya. Bang Luke udah tua gitu." Aku hanya tertawa. "Abang dari kemarin uring-uringan terus. Nggak asyik!"

"Dito?" balasku.

"Bang Jo."

"Ha?" Benarkah? Biasanya yang sering gampang emosi kan Dito. "Lagi ada masalah di rumah sakit?"

"Mungkin, sih."

Aku mengangguk-angguk. Memang sih, mungkin dia sangat sibuk. Bahkan seminggu ini dia tidak pernah datang ke Moshei. Terakhir kali ya saat antar Sheila waktu ada Lucas itu. Dia juga tidak pernah mengirim pesan padaku. Itu membuatku sedikit ragu ... bahwa mungkin dia tidak seserius itu. Maksudku, kalau dia serius ingin berjuang untukku, harusnya berusaha untuk tidak putus komunikasi denganku bukan? Sesibuk apapun, bisa kan dia mengirim satu pesan saja? Tapi yang dia lakukan malah menghilang.

Lho, kenapa aku jadi terdengar seperti mengharuskannya begini? Ini tidak boleh terjadi. Aku masih harus menghindarinya. Tapi kenapa aku juga sering kesal tidak jelas selama seminggu ini?

"Tapi nggak biasanya gitu, kok. Bang Jo kan nggak kayak Bang Dito yang apa-apa pake emosi. Tapi semingguan ini jadi suka kesel gitu. Mana mukanya suram banget kayak kehilangan kesempatan hidup."

Aku hanya meringis. Mau komentar apa, coba?

"Eh, Mo."

"Hm?"

"Kamu," Sheila menggantung kalimatnya yang diucapkan sangat pelan itu. "Belum bisa mempertimbangkan Bang Jo, ya?"

"Hm?"

"Bukan apa-apa, Mo. Nggak maksud gimana-gimana, tapi lihat abangku selalu nahan cemburu tiap lihat kamu sama Bang Luke, lama-lama aku kasihan juga. Bukan karena aku adiknya. Aku cuma penasaran aja, gitu."

Aku terdiam. Tidak tahu juga harus jawab apa. Aku tidak bisa munafik dengan mengatakan bahwa aku tidak tersentuh dengan semua sikap Jovan. Ya bagaimana lagi? Aku masih seorang perempuan yang kodratnya gampang terbawa perasaan. Apalagi ketika seseorang yang dulu sangat kuperjuangkan, kini mengejarku balik. Tapi untuk langsung menerimanya dengan tangan terbuka, aku masih sangat ragu.

"Eh maaf, Mo, maaf!" Tiba-tiba Sheila berseru. "Lupakan aja. Jangan dipikirin, ya. Ambil waktu sebanyak yang kamu mau. Oke?"

Aku menghela napas. "Iya."

"Ya udah, aku tutup dulu. Bye, Momo Sayang."

Sambungan terputus. Aku masih termenung. Memikirkan Jovan memang selalu membuatku pusing, entah dulu maupun sekarang. Apa aku terkesan menggantungnya selama ini? Tapi aku sudah memintanya untuk berhenti, tapi dia tetap keras kepala, bukan? Ah entahlah.

"Dek."

Aku menoleh, menemukan Bang Naufal yang berdiri di ambang pintu kamarku. Dia tersenyum tipis, kemudian masuk dan duduk di tepi ranjang. Matanya meneliti wajahku dengan seksama.

"Ada masalah?"

Aku menggeleng. "Emang ada apa di mukaku?"

"Kamu kelihatan kayak mikir berat."

Aku mengembuskan napas berat. "Nggak, kok."

Bang Naufal tersenyum lagi, kemudian tangannya terulur untuk mengusap pipiku. "Gimana keadaan kamu sekarang? Konsultasinya sama Fira lancar?"

Aku mengangguk. "Mbak Fira bilang, intensitasnya udah bisa dikurangi. Aku udah jarang mimpi buruk juga."

"Syukurlah."

"Harusnya dari dulu aku nurut buat ke psikolog, ya?"

"Nggak apa-apa." Tangan Bang Naufal berpindah ke puncak kepalaku. "Mungkin ini memang waktu yang tepat. Sedangkan dulu, kamu belum siap."

Mungkin memang ada benarnya juga. Karena konsultasi ke psikolog berarti harus menceritakan semua masa laluku. Awal bertemu Mbak Fira, aku juga kesulitan untuk bicara. Belum bercerita saja aku sudah berkeringat dingin. Syukurlah temannya Mbak Rana itu dengan sabar terus menghadapiku hingga bisa terbuka.

"Kalau Jojo." Aku menoleh cepat saat Bang Naufal menyebut nama itu. "Gimana?"

"Apanya?"

Bang Naufal tersenyum tipis, menyentil ujung hidungku. "Jangan pura-pura nggak tahu."

Aku berdehem, sedikit salah tingkah. Setelah beberapa saat melarikan pandangan ke segala arah, aku kembali menatapnya yang masih menuntut jawaban. "Ya gimana apanya?"

"Dia sudah menyerah?"

Mataku mengerjap. "Nggak tahu."

"Kok?"

Aku mengangkat bahu. Kemudian mulai menceritakan semuanya dari awal tentang Jovan yang mendekatiku lagi. Juga tentang Dito dan Sheila yang jahil dengan membawa-bawa Lucas untuk menguji abang mereka. Juga tentang Jovan yang seminggu ini tak ada kabar.

"Hampir tujuh bulan, ya?" Bang Naufal bergumam pelan. "Kamu nggak mau mempertimbangkan buat nerima dia lagi?"

"Nggak tahu." Aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. "Aku bingung."

Bang Naufal memperbaiki duduknya, memandangku lekat. "Kamu masih suka dia?"

Aku diam.

"Yang dulu kamu rasakan, masih ada sampai sekarang?'

Mulutku masih bungkam. Kami saling pandang, sebelum akhirnya Bang Naufal terkekeh kecil.

"Sepertinya masih, ya?"

Aku mencebikkan bibir. "Nggak semudah itu, Bang."

Tersenyum kecil, Bang Naufal menggeser duduknya untuk merangkul bahuku. "Abang nggak paksa kamu untuk terima dia. Apapun keputusan kamu, akan Abang dukung."

Kudongakkan kepala untuk menatapnya. "Kalau aku terima, Abang nggak keberatan? Bukannya masih kesal sama dia?"

"Nggak sampai harus mengorbankan kebahagiaan kamu. Nggak lagi, Sayang." Bang Naufal mengusap belakang kepalaku.

"Ayah? Ibu?"

"Nggak ada yang lebih penting dari kebahagiaan kamu buat Ayah sama Ibu. Pikirkan aja baik-baik. Karena kamu maupun Jojo sekarang udah sama-sama dewasa. Udah lebih bisa mengambil keputusan untuk hidup kalian. Yang Abang mau, jangan sampai kalian menyakiti satu sama lain lagi. Udah tutup aja buku tentang masa lalu. Ya?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Aku masih sangat bingung. Tapi membiarkan Jovan berusaha sampai berbulan-bulan bukan gayaku. Ini bukan ajang balas dendam, kan?

***

Direpost 08 Juni 2022

Direpost 25 September 2024

Mōichido (Repost Still Full)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang