"Maksudnya?"
Dia berkedip pelan sekali. Matanya masih lurus menatapku. "Kamu pernah suruh aku berhenti, kan? Jadi sekarang, aku turutin."
Seolah ada tangan-tangan meremas paru-paru, aku merasa sesak. Napasku satu-satu. Dan mataku meremang, hangat.
"Maaf, udah ganggu kamu selama ini. Udah bikin kamu nggak nyaman dan terus-terusan kesal karena keberadaanku. Maaf, bikin kamu terpaksa menerima aku yang bajingan dan nggak tahu malu berharap kesempatan kedua dari kamu. Maaf."
Aku bangkit dengan cepat. Kupandangi dia yang tidak bergeming. Sementara kelopak mataku sudah bergetar ingin menumpahkan air.
"Kamu mau ber-henti, kan?" Kukepalkan kedua tangan di belakang punggung. Kepalaku mengangguk singkat. "Baik. Silakan berhenti. Makasih atas pengertiannya. Aku permisi, Abang."
Tanpa menghiraukan wajahnya terperangah, aku berbalik dengan cepat dan keluar dari ruangan menyesakkan itu. Dia pasti kaget dengan panggilanku. Aku tidak peduli. Toh, dulu dia sendiri kan yang memintaku memanggilnya seperti itu?
Pintu tertutup, tapi aku tidak langsung pergi. Kedua kakiku bergetar. Kusandarkan punggung di daun pintu, sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Aku tak bisa menahannya lagi. Dadaku sakit. Jovan bajingan. Jovan berengsek. Jovan tak tahu malu. Bisa-bisanya dia menyakitiku setelah ribuan kali mengobral kata maaf. Apa memang setidak-berarti itu kata maaf baginya?
Apa ini karena dia pikir aku dan Lucas benar-benar memiliki hubungan kekasih? Tapi ... bukankah Sheila tadi sudah bilang akan memberitahunya? Seharusnya dia sudah tahu bukan kalau aku belum memiliki pasangan? Lalu kenapa dia tiba-tiba menyerah seperti ini? Apa memang hanya sampai di sini bentuk keseriusannya? Belum tujuh bulan dan dia memutuskan berhenti?
"Dasar pengecut!" Setelah berdesis, alih-alih pergi, aku kembali membalikkan badan dan membuka pintu itu.
Dia kelihatan terkejut melihatku yang kembali masuk. Kulirik tangan kirinya yang sedang terkepal kuat. Matanya ... merah. Aku mengembuskan napas kasar. Kenapa lama-lama dia jadi ikut-ikutan cengengnya Sheila, sih?
"M-moza...."
Aku tetap berjalan dan baru berhenti saat sampai di samping ranjangnya. Mataku lurus tersorot ke matanya juga. "Pengecut."
Matanya membulat. "M-mo?"
"Kamu bilang, kamu mau berhenti kalau aku udah nikah atau seenggaknya tunangan, kan?"
Dia mengangguk, kelihatan bingung tapi aku tidak peduli.
"Kamu mau ingkar janji? Atau ... semua yang kamu bilang cuma omong kosong?"
"Moza." Dia menegakkan punggung, menatapku tajam. "Aku memang salah, melakukan dosa sama kamu. Tapi semua yang kulakukan dan aku bilang, nggak pernah omong kosong. Sejak hari di mana aku kehilangan kamu, aku selalu serius kalau itu menyangkut kamu."
Aku terkekeh sambil mengusap setitik air yang merebak di sudut mata. "Kalau gitu, kamu nggak bakal berhenti sekarang! Kecuali kalau keseriusan kamu emang cuma sampai di sini."
"Mo." Dia menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Aku janji akan berhenti kalau kamu udah nikah, atau seenggaknya tunangan. Aku berhenti karena harus nepatin janji. Kamu akan lebih benci lagi, kalau aku masih maksa buat ngejar, di saat kamu udah punya pasangan. Kamu bakal nggak mau ketemu aku lagi kalau itu terjadi. Dan aku ... nggak bisa menerima kebencian dari kamu, lebih besar dari sekarang. Aku nggak sanggup."
"Siapa yang punya pasangan?" Nada suaraku sedikit meninggi, membuatnya mengerjapkan mata.
Dan matanya berkedip lagi. "Kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mōichido (Repost)
ChickLitMiniseri #2 Moza pernah melakukan kesalahan fatal, hingga Jojo tak sudi lagi melihat wajahnya. Keluarga besar yang selalu memanjakannya, berbalik menyalahkan dan menghakimi. Tak ada pilihan terbaik selain membentangkan jarak dan mengasingkan diri. D...