CHAPTER III : SEBELUM NERAKA DIMULAI.

10.4K 599 3
                                        

Pagi itu, rumah besar itu mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Almira, Kamila, Nabila, dan Rahma sudah sejak subuh berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk semua penghuni rumah. Aroma tumisan dan roti panggang memenuhi udara, sementara suara panci dan spatula berdenting pelan seperti irama rutinitas.

Di sudut meja makan, Afifah tengah fokus menyiapkan bekal untuk dua adik mereka—Gracia yang duduk di bangku SMA dan Ellen, siswi SMP. Sekalian, ia juga menyiapkan kotak makan untuk Arnold dan Patricia yang akan kembali bekerja hari ini.

Di halaman depan, Alya memanaskan motor untuk Arnold dan Patricia. Uap knalpot naik ke udara pagi yang masih dingin, sementara matanya sesekali melirik ke arah jam dinding teras.

Sementara itu, Azizah berdandan rapi sambil meraih kunci mobil cicilannya. Ia bersiap mengantar Gracia dan Ellen ke sekolah. Meski lelah belum sepenuhnya hilang dari wajahnya, semangatnya tetap terlihat.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, suasana rumah itu tak pernah benar-benar tenang. Gracia dan Ellen kembali ribut, kali ini soal kaus kaki dan sepatu yang katanya tertukar. Suara mereka terdengar sampai dapur, membuat beberapa kakaknya hanya bisa saling pandang dan menghela napas panjang.
"Udah, nanti telat!" tegur Afifah dari balik pintu dapur.

Meski cekcok, semuanya akhirnya berkumpul di ruang makan. Aroma nasi goreng dan telur dadar memenuhi udara. Sarapan sederhana, tapi cukup untuk mengisi tenaga sebelum mereka memulai hari.

Sheren sudah duduk rapi di ujung meja, bersiap kuliah. Ponsel di tangannya terbuka pada aplikasi ojek online. Ia mengetik cepat, lalu memesan jemputan.
Almira, Afifah, Azizah, Alya, Nabila, Kamila, dan Rahma memperhatikannya dalam diam. Ada rasa bangga melihat Sheren mengenakan baju kuliah, tapi juga perasaan yang sulit dijelaskan: semacam rindu terhadap impian mereka sendiri.

"Semoga tahun depan kita juga bisa kuliah," ucap Kamila pelan.
Yang lain mengangguk pelan. Tahun ini, mereka memilih istirahat dulu—membantu Papa, menata kembali arah hidup, dan mengumpulkan harapan yang sempat runtuh.

Tiba-tiba suara manja Ellen memecah kesunyian, "Kak Azizah, tolong ambilin sepatuku dong~"
Azizah hanya melirik, setengah sebal setengah geli. Patricia yang melihat adegan itu dari ujung meja menggeleng pelan, "Duh, bocah satu ini..."
Akhirnya, satu per satu mereka keluar rumah. Ellen dan Gracia diantar Azizah dengan mobil cicilannya. Patricia dan Arnold berangkat naik motor yang dipanaskan Alya sejak pagi. Sheren pergi naik ojek. Rumah itu kembali sepi untuk sementara—tenang, sebelum badai datang.

Azizah pulang setelah mengantar Gracia dan Ellen ke sekolah. Mentari masih muda, menyapu halaman rumah dengan cahaya hangat. Saat ia memarkir mobil, dari kejauhan ia melihat teman-temannya—Almira, Kamila, Nabila, Rahma, Alya, dan Afifah—sudah rapi mengenakan gamis hitam dan kerudung panjang. Wajah mereka tampak bersih, siap menjemput hari yang padat.

Satu per satu mereka masuk ke dalam mobil. Kamila duduk di depan, Almira dan Nabila di tengah, Rahma dan Alya di belakang. Afifah masih berdiri di depan pintu rumah, memastikan kunci sudah terkunci rapat, jendela tertutup, dan kompor mati. Kebiasaan yang sulit hilang, bahkan di tengah rutinitas sibuk.
Hari ini, dari pagi hingga malam, waktu mereka padat. Kajian pagi akan menjadi penguat ruhani. Siangnya, mereka akan turun ke jalan—aksi bela Palestina yang sudah mereka rencanakan bersama.

Sore hingga pukul sembilan malam nanti, mereka akan mengajar anak-anak dan ibu-ibu di gang sempit dekat masjid.
Azizah menghela napas sebentar, lalu naik ke mobil sebagai pengemudi. Mobil itu pun perlahan melaju meninggalkan halaman rumah, membawa enam perempuan muda dengan semangat yang menyala—mengabdikan waktu, ilmu, dan tenaga mereka untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri.

ROSE'S  FOR THE DEAD. (SEGETA TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang