7

478 46 17
                                    


"Udah Nda, Nda gak usah paksa Eka buat kerja di perusahaannya Papah."

Alby memegangi setoples cookies cokelat yang ia jepit diantara perut buncitnya.

"Nda gak maksa, Papah yang mau Eka buat kerja di sana bantuin Mas kamu." Jawab Hansa.

"Nanti malah ribut lagi, gara-gara kemarin Nda bawain bahan makanan buat Alby aja, Eka marah sama Alby."

"Loh, kenapa harus marah?"

"Eka kira, Nda sama Papah pikir Eka gak bisa kasih Alby makan." Terang Alby.

"Ya ampun, itu anak."

"Gak usah Nda tegur, ya, biar ini jadi urusannya Alby sama Eka aja. Orangtua gak perlu ikutan, cukup lihatin. Entar kalo kita berdua gak bisa ambil keputusan, baru deh Nda sama Papah bantuin."

Hansa hanya menggelengkan kepalanya, kemudian membereskan piring bekas Alby makan siang.

"Kok Eka makin ke sini malah kayak anak kecil."

"Dih ... sok tau."

"Itu buktinya, masa Nda kasih makanan malah marah."

Alby mengelus perutnya pelan, "nih!"

"Kenapa?" Hansa mengernyitkan alisnya.

"Bawaan bayi jadinya sensi."

"Duh By ... Nda juga pernah hamil, tapi dulu waktu Nda hamil kamu, Papah gak pernah tuh, sensi begitu."

"Kalo Papah sensi yang ada di usir sama Nda." Dengan entengnya Alby menjawab.

"Mana ada Nda ngusir Papah."

"Udah, pokoknya ini rahasia kita berdua. Papah juga gak boleh tau."

* * *

Siang itu terik matahari begitu menyengat, Eka masih harus mengangkat beberapa barang pesanan konsumen ke atas mobil pick up milik Ayahnya, di toko. Sepulang dari kampus tadi, Eka segera menuju toko karena sopir yang biasa mengantar barang pesanan tidak masuk untuk bekerja.

"Ini surat jalannya, sama kamu nanti minta tagihan yang sisa minggu kemarin." Ayah Eka memberikan selembar kertas dan buku dengan gambar khas batik berwarna kuning.

Hanya bekerja seperti ini, gajinya jauh dari kata cukup. Bahkan tidak ada separuhnya dari uang jajan Alby yang diberikan oleh Papanya. Tak ada kata lelah kalau untuk memperjuangkan hak kekasih hati. Panas, atau kantuk yang kadang datang seperti tidak terasa kalau sudah mengingat apa saja kebutuhan hidup yang sudah menanti Eka.

*ponsel berdering

"Halo ..."

'Udah makan siang, Ka?'

"Belom, aku masih di jalan By, kamu lagi di mana, kok berisik banget?"

'Oh ... aku lagi temenin Nda nyari baju buat Mas Aldy. Kamu mau ke mana? Kenapa gak di toko?'

"Aku mau anter barang, sopir toko hari ini gak masuk."

'Jangan telat makan, ayah sayang ...'

Eka tersenyum mendengar suara Alby yang menirukan suara anak kecil.

"Iya, jagoan Ayah jangan nakal ya di perut."

'Siap ... kalo gitu kamu hati-hati ya, Ka.'

"Hm ... iya, nanti kamu aku jemput di rumah Nda atau gimana?"

'Terserah, atau mau makan di tempat Nda sekalian? Kamu pulang malem gak?'

"Paling jam 5 aku udah balik, kita makan di rumah aja. Nanti aku yang masak."

Hello ... PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang