🌿 1 🌿

1K 126 43
                                    

Puncak gunung berselimut es terpampang di depannya. Dadanya terasa sesak akibat rasa bahagia bercampur haru. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan panjang dan  perjuangan yang tidak ringan. Kini dia berdiri tegak di atas kemiringan yang tidak pernah ditempuhnya. Kakinya benar berpijak di atas salju tebal.

Kedua mata yang tertutup kaca mata khusus itu terlihat berkaca-kaca, sekelilingnya hamparan salju yang dirindukan, gumpalan awan yang seolah menyambutnya dengan gembira dan sinar matahari menghangatkan di tengah suhu minus.

"Akhirnya," bisiknya.

Dengan semangat, laki-laki berpakaian tebal terus berjalan menanjak. Dia harus sampai di titik puncak tertinggi everest. Dia harus membuktikan jika ucapannya bukanlah angan-angan semata.

Namun, siapa sangka? Angin kencang tiba-tiba datang menerpa. Langkahnya sempat terhenti, mencoba mempertahankan keseimbangan tubuhnya.

"Bubu, awas!" Teriakan yang memekakan telinga. Musibah datang begitu, gumpalan es jatuh menimpa tubuhnya. Menggulungnya dengan brutal.

Gelap dan dingin. Anak laki-laki berusia enam belas tahun itu hanya bisa pasrah. Setidaknya, dia  sudah menginjakkan kakinya di everest. Dalam kegelapan yang nyata, dia merasakan sulitnya bernapas.

"Bubu!"

"Bubu, bangun!"

Bubu mengenal suara hangat itu. Suara Amih yang dirindukannya. Suara perempuan yang telah melahirkannya ke dunia ini. Perempuan yang tanpa lelah memarahinya setiap waktu. Sungguh, dia merindukannya.

Napasnya seketika tersendat ketika air masuk ke dalam hidungnya. Perih sampai kepala. Wajahnya sudah basah tanpa sebab. Dalam sekejap, wajah Amih yang memegang gayung berbentuk love berwarna merah muda telah kosong menjadi hal yang pertama dilihatnya.

Tunggu, Bubu baru menyadari jika di sekelilingnya penuh dengan tanaman. Rak buku, baju yang berantakan dan peralatan kemah.

"Mih, Bubu di rumah?" tanyanya dengan polos.

"Kalau bukan di rumah di mana lagi atuh, Bubu!" Perempuan berkhimar  hijau muda itu terlihat kesal.

"Kamu teh tidur kayak kebo!" Bubu hanya diam. Sedikit kecewa, jadi yang baru saja terjadi adalah mimpi.

"Eh, Si kasèp  malah bengong! Cepetan mandi!" seru Amih.

Tanpa menunggu tingkat kemarahan Amih kembali, Bubu langsung ke kamar mandi. Amih mengusap dadanya sembari istighfar beberapa kali, amanah yang diberikan Allah berupa anak bernama Bubu selalu menguras kesabaran menghadapi putra bungsunya itu. Tidak dipungkiri tugas menjadi seorang ibu itu berat, setimpal dengan balasan kelak.

🌿🌿🌿🌿

Di pagi hari seluruh anggota keluarga harus duduk bersama sambil berbincang santai. Sarapan bersama menjadi rutinitas yang tidak boleh ditinggalkan. Itu salah satu cara untuk menghangatkan hubungan antar anggota keluarga. Karena kesibukan masing-masing tidak jarang mereka tidak pernah bertegur sapa setiap saat.

Apih, kepala keluarga yang  tidak pernah menuntut kedua putranya untuk menjadi seperti dia inginkan. Bukan berarti tidak peduli, Apih justru sangat peduli. Jika Apih memperhatikan ke dua putranya dalam diam, berbanding terbalik dengan Amih.

"Bubu, lagi sarapan jangan main ponsel." Bubu yang dipanggil langsung menyimpan ponselnya didalam tas.

Ruangan makan yang berada di outdoor  tampak sejuk. Duduk di lantai beralas karpet ditengah-tengah mereka meja kecil. Tidak banyak menu yang disajikan. Hanya buah kurma, air madu, dan berbagai buah segar.

Apih memang orang yang sangat ketat dalam memilih makanan. Pasalnya, di zaman sekarang banyak sekali menu makanan cepat saji dan tidak sehat. Sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab dunia akhirat, Apih memperhatikan asupan yang di konsumsi keluarganya.

Little Bubu (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang