(1)

10 0 0
                                    

Semilir angin menuntunku untuk pergi lebih jauh. Rasa penasaran dalam diriku sudah teramat dalam. Ku telusuri jalan setapak yang mengarah ke barat ini, entah dimana ujungnya.

Aku terperangah, sungguh indah

Pemandangan matahari terbenam tersaji didepan mataku.

Aku takjub,

Ingin rasanya tuk lebih mendekat, ingin rasanya lebih lama menikmati keindahan ini. Tapi rasanya mustahil, sunset adalah sebuat salam perpisahan yang indah.

Aku terkejut,

Indah sinar keemasan tlah hilang, terganti dengan kegelapan yang mulai berkuasa. Sang rembulan telah menggantikan sang mentari di atas sana.

Aku ketakutan,

Inilah yang aku takutkan ketika aku menuruti rasa penasaranku. Aku tak tahu aku dimana dan akupun tak tahu menahu arah jalan pulang. Tidak ada cahaya penerangan entah itu lampu ataupun sejenisnya sejauh mata memandang. Berbekal sinar rembulan yang bulat penuh diatas sana, aku mulai melangkahkan kakiku untuk kembali ke rumah mendiang kakekku.

Sepanjang usahaku untuk kembali, aku merasa diikuti namun ketika ku arahkan pandanganku kebelakang tak ada apa-apa. Aku hanya bersama kegelapan tidak ada yang mengikutiku entah itu orang ataupun hewan.

Argh.. aku mulai putus asa, kakiku mulai terasa sakit begitupula dengan badanku. Aku terjatuh, darah keluar dari lututku, ah ternyata hanya lecet syukurlah bukan hal yang besar.

Ketika aku mencoba bangkit tak sengaja mataku bersitatap dengan mata, entah itu mata apa aku tak tahu, seperti mata kucing yang menyala dalam kegelapan. Terntara aku salah, itu bukan mata kucing melainkan mata harimau. Aku bisa melihatnya dengan jelas.

Aku ingin lari, tapi tak bisa aku membeku ditempat. Bibirku kelu tak bisa berucap saat aku ingin berteriak minta tolong. Rasanya tidak lucu jika aku harus mati dengan cara diterkam harimau. Tujuanku kemari memang untuk melepas rindu dengan kakek tapi dengan cara mengunjungi rumahnya bukan menyusulnya ke alam kubur disana.

Harimau itu terus mendekat ke arahku. Alhasil aku malah menutup mata sangking tak tahu apa yang harus ku lakukan.

"Bangkitlah, aku tak akan menyakitimu. Aku juga tak akan memangsamu jika itu yang kau pikirkan"

Seketika aku membuka mata lebar lebar, tunggu kemana perginya harimau itu, kenapa yang ada dihadapanku kini malah seorang pria yang menjulang tinggi dengan badan kekar mengenakan pakaian serba hitam.

"Aku bisa menjelaskan segala pertanyaanmu itu" ujarnya lagi.

"Kau.. bisa membaca pikiranku atau mendengar kata hatiku?" tanyaku dengan sedikit terbata bata.

"Keduanya aku bisa"

Argh... semuanya tampak tak bisa dipercaya, aku tercengang. Setelah ia membantuku berdiri, kini ia malah mengarahkan tangannya untuk menggendongku ala bridal style.

"Tak usah banyak berpikir, tutup matamu saja"

Aku hanya bisa menuruti perintahnya, lagipula kantuk secara tiba-tiba seperti menyerangku.

___________________

Harum bumbu ditumis menggelitik hidungku. Memancing cacing dalam perutku untuk menuntut jatah makan. Dan benar saja tak lama kemudian perutku berbunyi. Kulihat jam di samping tempat tidurku, pukul 04.54 akhirnya kuputuskan untuk bangun dari tempat tidurku toh jika aku mencoba tidur lagi itu mustahil bisa. Beginilah nasib susah tidur mudah terbangun.

Derap langkahku terdengar sampai ke seluruh penjuru ruanga. Ayah yang sedang menonton tv sampai Bunda yang sedang memasak pun kini menjatuhkan pandangannya padaku.

"Pagi Ayah Bunda" sapa ku dari ujung tangga.

"Tumben dah bangun Lyn ?" tanya Ayah sambil mengembalikan fokusnya pada televisi.

"Harum masakan Bunda tercium sampai atas, Adelyn jadi bangun pengen ngicip" jawabku sembari berjalan ke dapur.

"Mana ada ngicip pakek nasi Lyn-Lyn?" Jika Bunda sudah mulai membahas kebiasaanku ini aku hanya bisa nyengir tak bersalah sedangkan Bunda hanya geleng-geleng memaklumi tingkah anak keduanya ini.

Setelah mencomot satu potong tahu goreng Bunda, ku lanjutkan langkahku ke kamar mandi untuk bebersih dan bersiap melaksanakan kewajibanku.

Ketika aku ingin kembali turun selepas melaksanakan kewajibanku aku berpapasan dengan Bang Elfian, kakakku satu-satunya.

"Tadi malem pulang jam berapa, kok Abang nggak tau kamu pulang?"

Pertanyaan yang baru saja terlontar itu membuatku kembali kaku, aku benar benar lupa akan sosok tadi malam. Rasanya ingatanku baru saja dikembalikan. Aku ingin menceritakannya pada orang rumah tapi rasanya itu bukan hal yang wajar. Bagaimana kalau abangku yang rese ini berulah bikin naik darah.

"Awwww..." pekikkan ketika aku salah melangkahkan kaki.

"Sudah aku katakan bukan, jangan banyak berpikir. Semua pertanyaanmu itu bisa aku jawab"

Suara itu terdengar seperti suaranya, tapi dimana dia. Mataku mulai ku edarkan ke penjuru ruangan, mencari sosoknya.

"Aku selalu berada di dekatmu selama ini, tak usah kau mencariku. Kau hanya membuang waktu"

Sungguh rasanya ingin sekali mengumpat, ini semua terlalu tak masuk akal hingga membuatku jengkel.

Tetapi keinginanku itu ku urungkan mengingat dia bisa membaca pikiran dan juga kata hatiku. Syukurlah aku tak perlu membuang buang tenaga.

"Jangan main-main denganku Adelyn Eratana Tjandrakusuma "

Mendengarnya aku hanya memutar bola mata jengah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 28, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ArakataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang