SPOILER ALERT!!!
Bagi yang ga suka spoiler dan belum baca Klandestin 3 diharapkan jangan baca ini dulu. Tapi kalau ngerasa ga masalah, silakan baca ya.*******
"Apa yang kamu rasakan saat ini, Nirbita?"
"Entahlah. Biasa aja?" Aku mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Dokter Utopia.
"Pernah mengalami kebingungan lagi?"
Aku menggaruk pelipis, mengingat beberapa kejadian. "Beberapa hari lalu. Saya sempat kebingungan dengan keadaan sekitar."
Dokter Utopia mencatat di catatan pengobatanku. Ia memandang dan tersenyum kepadaku. "Selalu ingat satu hal. Saat kamu melihat saya, artinya kamu ada di dunia nyata."
Aku mengangguk. Memang benar. Aku tak pernah melihat Dokter Utopia di mimpi-mimpiku saat aku mengalami tidur panjang.
Sepulang konsultasi, aku mengecek ponsel seraya berjalan ke luar rumah sakit. Ada panggilan tak terjawab dari Bunda. Aku mencoba menghubunginya lagi, tetapi nomornya tidak aktif. Saat mengecek WhatsApp, aku mendapati pesannya.
Bunda: Bunda sama Papa pergi ke rumah Eyang. Eyang sakit lagi. Jangan khawatir. Tetap di rumah.
Aku berpikir cukup lama sekadar mengingat sosok 'eyang'. Kupukul kepala berkali-kali saking frustrasi. Bahkan, aku sempat tak mengingat bahwa aku masih memiliki seorang nenek yang tinggal di... di mana? Lemahdadi? Aku menggeleng dan berjalan gusar mencari angkutan umum.
*
Kupandang buku The Prince karya Machiavelli di tangan. Aku membuka-buka halaman. Sampai saat ini, ia tidak mengambil buku ini. Aku selalu membawanya sekadar siap siaga jika bertemu dengannya. Barangkali ia lupa atau sibuk.
"Aku bisa menebak tahu 2016 akan sama membosankannya seperti tahun ini." Seseorang duduk di sebelahku secara tiba-tiba, membuatku terkejut. Gadis berambut panjang dan berkulit pucat itu menaikkan sebelah alis. "What happens?" Ia tersenyum bingung.
Aku menggaruk kepala. "Ngg... nggak apa."
"Nirbita, boleh bilang jujur? Sejak kamu nggak kelihatan di kampus cukup lama, kamu aneh sekali. Well, technically we're odd. Ya. Kita sama-sama dianggap freakie. Tapi, serius deh, kamu lebih aneh." Ia terkekeh. "No offense."
Aku merapatkan bibir. "Arum, maaf. Aku mengalami hal sulit." Kuselipkan rambut ke belakang telinga, menoleh ke gadis itu. Mengingat bahwa ia adalah seseorang yang seharusnya aku benci. Aku menggeleng kuat dan meremas tangan. Itu hanya di mimpi, Nirbita. Tolong bedakan. "Seberapa jauh kamu mengenal aku?"
"Seberapa jauh?" Arun terbahak. "We're not close enough. Kamu masih menyembunyikan banyak hal, termasuk alasan nggak masuk kuliah beberapa kali dalam waktu yang lama. Are you sick? Punya... penyakit serius?"
"Apa? Ya, maksudku, nggak begitu serius." Aku menggeleng. "Nggak usah khawatir." Aku menyentuh kepalaku yang sakit sambil menarik napas panjang. "Aku hanya mengalami sedikit disorientasi. Pikiranku... ruwet. Kadang aku nggak ingat beberapa hal."
"Ouch." Ia tertawa pendek. "Haruskah aku mengingatkan banyak hal? Kita berteman sekitar... uhm... let me say, setahun lalu? Aku di Jurusan Filsafat. Kamu Sastra Indonesia. Sudah ingat?"
Filsafat? Aku memandangnya. "Arum Zante de Schia?"
Ia membulatkan mata. "Ya? That's my name."
KAMU SEDANG MEMBACA
nayanika
RomanceSetelah bangun dari mimpi panjang, Nirbita mengalami sedikit disorientasi pada pikirannya dan tidak bisa membedakan mimpi dengan kenyataan.