Rintik hujan masih terasa di ubun-ubun kepala. Setelah derasnya mengguyur ibukota, kini jalanan mulai agak sepi karena malam telah larut. Udara terasa dingin sejak beberapa waktu lalu ketika hujan mulai turun. Sepertinya warga kota mulai beranjak menuju peraduan mereka. Namun tak sedikit pula yang masih sibuk menghabiskan waktu diluar, walau cuaca belum bersahabat karena mendung tebal masih menghias cakrawala serta rintik hujan yang masih setia.
Ayra masih bergeming di tempatnya semula. Menatap ke arah luar melalui jendela kamarnya. Tatapannya sayu dan kosong. Seakan menggambarkan hatinya yang saat ini tak berpenghuni.
Angannya menerawang jauh ke atas langit gelap. Disana hanya ada kegelapan malam yang setitikpun tanpa cahaya. Malam ini bintang dan rembulan tak bersahabat dengannya sehingga mengabaikan kerinduan akan terangnya sinar yang ia pancarkan.
Gadis itu menatap jauh ke depan. Matanya seakan menembus kegelapan malam. Dalam bayangan pikirannya, kembali muncul sesosok wajah rupawan. Pemuda yang entah sejak kapan dicintainya.
Kenapa dia selalu muncul dan muncul kembali, Ya Rab?
Ayra menarik napas dalam. Hatinya sesak. Serasa beribu-ribu ton baja menindih ulu hatinya. Ia menggeleng perlahan mencoba menghapus, menepis bayangan itu, namun sayang apa yang ia lakukan hanya sia-sia. Seakan bayangan itupun tak ingin bersahabat dengannya dan ingin terus menghantuinya.
Harus bagaimana aku melupakannya ya, Rab?
Entah berapa kali pertanyaan itu ia bisikkan dalam hati. Terkadang ia gumamkan dalam doa yang ia panjatkan.
Ketika sebuah kenyataan harus ia hadapi. Penderitaan akan sebuah perasaan yang dialami remaja pada umumnya. Cinta telah membuat mata dan hati Ayra menitikkan air mata berhari-hari. Membuatnya merasakan betapa sakitnya mencintai seseorang terutama ketika badai rindu telah datang menggulungnya.
Siapa yang menginginkan ia jatuh cinta?
Dulu Ayra pernah menyukai seseorang. Tapi itu ketika dia masih sekolah. Dan mungkin perasaan yang ia rasakan dulu berbeda dengan sekarang. Ayra sadar, bahwa dunia ini memang tak pernah bersahabat dengan namanya perasaan. Terlebih takdir yang sudah diatur sedemikian rupa, menjadikan kesatuan yang konkret dan mampu meluluh lantakkan siapapun mereka yang tak kuat dalam imannya.
Ayra sudah mengalami hal pahit itu. Rasa sakit itu. Bagaimana ia berusaha bangkit dengan berjalan tertatih-tatih dan kini ia sudah mampu berlari meski harus sesekali berhenti.
Rioga!
Berkali-kali nama itu ia sebut meski tanpa sengaja. Layaknya tulisan yang telah melekat di dinding, seperti itu pula nama seorang Rioga terukir dalam kalbunya.
Ya Rab, sungguh, aku lelah.
Dan mata yang semula kering itu kini mulai mendatangkan air bening, membuatnya berkaca-kaca kembali dalam tangis. Kerinduan itu datang lagi menggebrak hatinya, membuat Ayra terisak sesak.
Dan jatuh sudah dinding pertahanan yang sejak tadi ia bangun. Kembali gadis itu larut dalam kungkungan air mata lara.
Sampai kapan semua ini berlalu. Ya, Raabb?
~~○○~~
Keduanya berkenalan lewat sosial media. Sebuah grup kepenulisan. Membawa beberapa rekan-rekan lain yang berbeda usia dan kalangan, namun berkumpul dalam satu tempat. Lia, Indah, Natan, Fitri, Ayra, dan Rioga. Mereka berenam adalah anggota-anggota yang sering meramaikan grup hingga tengah malam. Disaat yang lain asik dengan selimut tebal dan mimpi indah mereka, namun ke-enam orang ini cenderung berisik, saling bersahut-sahutan memenuhi dunia chatingan grup Orange Writer's, membuat notifikasi menumpuk hingga ribuan pada keesokan harinya.