The Photograph

623 112 63
                                    

Author: anonymous

Krist POV.

Pada pukul lima sore, ketika para jas berdasi mulai meletakkan layar lipatnya, aku merasakan waktu senggang. Kecuali mereka bilang lembur. Hal yang aku benci dan aku sukai sekaligus. Gajiku yang sebatas upah minimum kota, akan mendapatkan bonus lebih. Walaupun harus merelakan sedikit waktu. Ah, terkadang tak bisa dihitung sedikit. Tiga jam itu nyaris membunuhku. Untung saja hari ini aku terlepas dari lembur yang mencekik.

Kurentangkan tangan dengan sedikit menguap. Mataku cukup pedih menghadap layar komputer berjam-jam. Beberapa teman sudah menyapa pulang. Aku masih harus sedikit membereskan meja kerjaku, atau atasan divisiku akan mengomel besok paginya.


Sebenarnya aku bukan orang yang berteman banyak. Hanya penikmat sendirian dan penyuka kucing. Aku punya satu ekor kucing di rumah yang kurawat sejak umurku dua puluh dua tahun. Jika dihitung sampai sekarang, sudah empat tahun aku hidup bersama Muffin. Kucing pendek berbulu yang selalu menanti kedatanganku.


Satu bungkus cat snack dengan rasa makarel selalu masuk ke dalam keranjang belanjaku. Juga beberapa bahan makanan seperti tepung maizena, susu, telur dan lain sebagainya. Rencananya, besok aku mau buat pudding cake mengingat weekend sudah menyambut. Kebiasaanku untuk memanjakan diri adalah sibuk di dapur. Aku cukup pintar memasak. Bahkan Godt mengakui itu.


Ah, Godt.


Aku jadi teringat padanya. Godt ini temanku. Kami dekat. Tapi dia tak ada kabar lagi sejak empat hari lalu. Nomor ponselnya tak dapat lagi kuhubungi. Terakhir melihatnya ketika dia berpamitan pulang dari rumahku selepas mengunyah banofee pie buatanku dan menandaskan teh rosela kesukaanku.


"Krist, aku pulang dulu, ya? Terima kasih atas suguhannya. Banofee pie mu selalu membuatku ingin mencomot terus, dan teh rosela ... selalu manis seperti yang buat," ucapnya kala itu di depan rumahku seraya mengacak rambutku pelan seperti biasanya.


Godt temanku, tapi dia suka menggodaku. Biarkan, selama dia tidak macam-macam padaku. Lagipula, selama ini dia banyak membantuku. Terlebih ketika kedua orang tuaku meninggal dan hanya menyisakanku hunian tanpa kendaraan. Dialah yang antar jemputku kemana saja.


"Iya. Hati-hati di jalan, Godt."


Kata itu terakhir yang kuucapkan padanya. Sebelum aku berbalik badan masuk ke rumah, tanpa tahu apa yang membuatnya kehilangan eksistensi dihadapanku.


"Totalnya 189 baht."


Segera aku melupakan seklumit tentang Godt saat pegawai kasir di depanku mengucapkan total harga belanjaku. Kuserahkan dua lembar uang 100 baht. Lalu pergi, menenteng belanjaanku.


Kala tapak kakiku menyusur komplek tempatku tinggal, tak sengaja netra lelah ini menangkap siluet seseorang yang sebulan ini selalu kulihat. Aku tahu pria itu. Namanya Singto-dia menyebut namanya begitu. Nomor rumahnya 14, nomor rumahku 19. Cukup jauh walaupun tak terlalu jauh. Aku selalu melewati rumahnya yang bersih setiap berangkat dan pulang kerja. Bahkan ketika Muffin minta ke taman, aku melewati rumahnya lagi.


Singto itu, orangnya ramah. Suka menyapa dan senyum pada semua orang. Wajahnya yang rupawan-aku harus mengakui itu-membuat ibu-ibu kompleks menyukainya. Nyaris seluruhnya segan. Dan aku, mungkin satu-satunya penghuni kompleks yang tak pernah berinteraksi dengannya. Sekali, waktu berkenalan sore itu.


THE PHOTOGRAPH [Krist Bday Event]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang