Udara malam Italia Selatan begitu dingin. Tapi dingin itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dingin di dada Kalif.
Mereka tiba di tebing gelap yang menghadap ke laut Tyrrhenian. Di bawah sana, villa megah milik Vittorio Luciano berdiri. Elegan, mewah… dan najis di mata Kalif. Di situlah lelaki biadab itu tinggal. Orang yang menciptakan Kelvin, lalu membunuhnya. Ayah kandung… dan monster berdarah dingin.
“Drone menyusup ke jaringan. Ada kamera mati di sisi barat. Lima menit kita masuk,” ujar Wallmond melalui headset, jari-jarinya cepat di atas keyboard.
Zed mengecek magazine pistolnya. Zion merenggangkan bahu, wajahnya seperti anak kecil yang tak sabar membakar mainan barunya. Dax ada di sisi Ishara, memantau sensor thermal dari drone.
Ishara sendiri terlihat seperti menahan napasnya—mungkin karena dalam hatinya, ada satu bayangan: Afifah.
Semuanya berpakaian hitam. Tak ada kata-kata basa-basi. Tak ada ruang untuk ragu.“Kalau ada yang mencoba hentikan aku,” Kalif berkata dingin, “bunuh mereka. Jangan peduli siapa mereka.”
Semua mengangguk.Pukul 01.03 dini hari.
Penyusupan dimulai.
Zed memimpin tim melewati hutan kecil di belakang villa. Gerakan mereka nyaris tak bersuara. Satu per satu penjaga berhasil ditumpas—tiga dengan pisau Ishara, dua oleh Zion yang melempar garrote tanpa suara. Tubuh-tubuh itu diseret ke semak. Tak ada alarm.
Wallmond masuk ke sistem CCTV utama.“Kamera-kamera mati. Kalian punya 8 menit sebelum sistem restart. Gerak cepat.”
Mereka akhirnya berdiri di depan pintu kayu besar villa. Zed menyelipkan alat kecil. Tiga detik.
Klik.
Pintu terbuka.
Mereka masuk.
Villa itu sunyi. Hening. Tapi tidak damai. Seolah tembok-temboknya tahu: kematian akan datang malam ini.Langkah Kalif terhenti di tengah lorong gelap. Kakinya seperti mengunci.
Matanya memandang tangga besar di depan, dan sebuah pintu kayu tua di lantai dua yang tertutup rapat.
Dia pernah ada di sini. Dulu.Waktu kecil, digandeng Kelvin masuk ke ruangan itu. Di balik pintu itulah, ayah mereka menyuruh Kelvin berlutut—karena membela Kalif dari siksaan. Dan Kalif kecil hanya bisa melihat dari celah pintu, sambil menangis.
“Kalau kamu pernah sakitin Kalif lagi, aku akan keluar dari keluarga ini!”
Suara Kelvin menggema di kepalanya.
Dan jawaban Vittorio waktu itu? Sebuah tembakan.Satu tembakan kosong. Untuk mengancam.
Tapi kini… tak akan ada peluru kosong.
Kalif menendang pintu itu hingga terbuka.Di dalam ruangan, duduk seorang pria tua elegan, berpakaian tidur sutra. Vittorio Luciano.
“Ah… anak keduaku.” Suaranya tenang, sinis. “Akhirnya kau pulang.”
Kalif masuk. Senjata di tangannya. Yang lain berdiri di ambang pintu, tak ikut masuk. Ini… adalah urusan pribadi.“Kenapa?” tanya Kalif pelan.
“Karena Kelvin Akan merebut hartaku, dia akan melanjutkan kekayaanku, dia akan menggunakan kekayaanku untuk tidak berguna,” jawab Vittorio.
“Dan keluarga ini tak butuh kayak begitu.”
Kalif mengatupkan rahangnya. “Dia mati karena dia terlalu benar… untuk keluarga sebusuk ini.”
“Tepat. Itu sebabnya dia mati.”DOR.
Kalif menembakkan satu peluru ke kursi dekat ayahnya.
“Ini bukan negosiasi.”
“Tidak,” kata Vittorio, bangkit dari kursi. “Ini pelajaran. Tentang pengkhianat. Dan tentang harga dari cinta.”Dia mengeluarkan pistolnya juga.
Mata mereka saling terkunci.
Saling menilai.
Saling menghakimi.
Dan dalam satu detik, pertarungan api dan darah pun meledak.DOR! DOR! DOR!
Peluru meledak di udara. Kalif dan Vittorio saling tembak di dalam ruangan, suara keras menggema menghantam dinding batu dan lantai marmer. Namun ini bukan duel sembarangan — ini adalah penghakiman berdarah.
Di luar ruangan, Zion sudah bergerak duluan. Dengan sadis, dia menyusup ke ruang bawah tanah. Di sanalah anak buah paling kejam milik Vittorio berkumpul. Zion tersenyum sinis ketika melihat tiga pria besar berjaga di lorong.
“Tugas membosankan ini cocoknya buat kalian,” gumam Zion pelan.Detik berikutnya, dia melempar dua pisau beruntun—satu menancap di tenggorokan, satu lagi di mata. Pria ketiga menjerit, namun hanya sempat satu detik sebelum Zion menarik pistol berperedam dan DOR! — darah menyiprat ke dinding.
Sementara itu di ruang utama, Ishara dan Zed bergerak ke arah barat villa, tempat tim elit Vittorio mengunci posisi.
Zed mengambil posisi penembak jitu. Ishara masuk dari bawah — melalui dapur gelap yang mengarah ke ruang tamu. Tiga anak buah Vittorio langsung menodongkannya. Tapi mereka terlalu lambat.CRACK. CRACK.
Tulang leher dua orang langsung patah di tangan Ishara. Satu lagi mencoba kabur, namun Zed dari kejauhan hanya menarik pelatuk:
DOR. Darah memercik di kaca.Di dalam ruangan utama, Kalif dan Vittorio masih saling tembak.
Lengan Kalif sempat terkena peluru, tapi ia tak menggubris. Luka itu tak sebanding dengan luka batin yang selama ini ia tanggung. Dalam satu gerakan cepat, Kalif menjatuhkan pistolnya dan langsung menerjang sang ayah. Mereka berkelahi brutal, tangan kosong, penuh darah dan teriakan.“KAU MEMBUNUH KAKAKKU!!!” raung Kalif, matanya merah.
Vittorio tertawa—darah sudah mengalir dari pelipisnya. “Karena dia bodoh! Dan sekarang kau juga akan menyusulnya!”
Namun Kalif menang. Dia menghantam wajah ayahnya bertubi-tubi. Gigi Vittorio rontok. Hidungnya patah. Tapi Kalif masih belum puas.Sampai…
“Kalif!”
Suara Dax membuatnya berhenti. Teman-temannya sudah masuk, berdiri di sekeliling, melihat Kalif di atas tubuh sang ayah—Vittorio hampir tak bisa dikenali.“Lakukan sekarang… kalau itu bisa menyembuhkan kamu,” kata Dax pelan.
Kalif menatap wajah tua itu.Vittorio masih hidup. Tapi nyawanya tergantung di ujung napas.
Kalif berdiri. Mengambil pistol dari balik pinggang.“Kak, aku akan menepati janji ini… Kau gak perlu takut lagi. Ayah tidak akan pernah sakiti siapa pun lagi.”
Dan DOR.Satu peluru bersarang di dahi Vittorio Luciano.
Diam. Hening. Selesai.Beberapa menit kemudian, mereka keluar dari villa yang penuh asap dan darah.
Di belakang, villa itu mulai terbakar — Zion yang membakar semua dokumen dan aset milik Vittorio. Tak akan ada yang bisa melanjutkan kejayaan mafia keji itu.
Di depan, Kalif menatap ke arah laut.
Angin meniup rambutnya pelan. Dalam hatinya, ada luka… tapi juga ada kelegaan. Untuk pertama kalinya, dia tak merasa seperti bayangan sang kakak. Tapi sebagai seseorang yang telah menuntaskan keadilan.Ishara menepuk bahunya.
“Kau bebas sekarang, Lif.”
Kalif tak menjawab. Tapi dari matanya, terlihat air mata jatuh perlahan.
Kelvin Luciano… kini kau bisa tenang.
Langit Maratea mendung, awan kelabu menutupi matahari yang bahkan enggan menyapa pagi itu. Udara lembap, aroma tanah dan bunga melati liar tercium samar saat mereka berjalan menyusuri pemakaman tua di bukit selatan kota.Tak ada yang bicara. Mereka semua berjalan dalam diam. Kalif memimpin di depan, mengenakan kemeja hitam polos dengan tangan di saku, wajahnya datar namun matanya… merah. Bekas amarah semalam masih membekas di sorotannya.
Zed mengikuti di belakang, bersama Zion, Dax, Wallmond, Famael, dan Ishara. Semuanya mengenakan pakaian gelap, tak ada senyum, tak ada suara.
Kalif berhenti di satu titik.Sebuah nisan putih berdiri sendiri, dikelilingi bunga liar yang tumbuh tanpa teratur.
KELVIN LUCIANO
Anak. Kakak. Pelindung.
“Cahaya di tengah gelap. Kini kau jadi langit.”Kalif menatapnya lama. Lalu dia berlutut.
Tangannya menyentuh tanah itu pelan, seperti takut menyakitinya."Maaf aku terlambat, Kak."
SEBAGIAN DI APUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN

KAMU SEDANG MEMBACA
ROSE'S FOR THE DEAD. (SEGETA TERBIT)
Science FictionDi balik wajah dunia yang damai, tujuh pemuda menyimpan luka, kemarahan, dan dendam yang tak berkesudahan. Zed, pemimpin dingin yang tak pernah ragu membunuh. Zion, bagaikan api liar, brutal dan tak terkontrol. Kalif, diam dan sadis seperti kematian...