Malam ini rasa kantukku mendadak hilang ditelan rasa penasaran yang kian membuatku menjadi tak karuan.
Sudah mencoba tidur dengan posisi terenak pun tetap saja mata ini sulit sekali bertemu dengan alam mimpi.Berulang kali menutup, berulang kali pula membuka karena hati masih dirundung rasa penasaran dan tak percaya dengan penjelasan Ayah tadi.
Dalam hati aku menimbang-nimbang keputusan, apa harus aku telfon Iqbal dan bertanya obrolan apa antara dirinya dan Ayah tadi? Tetapi ini sudah malam, lima menit lagi jarum panjang menapaki angka 6 sedangkan jarum pendek masih bertengger di antara angka 10 dan 11.
"Argh udah terlanjur penasaran," ucapku sembari mencari kontak Iqbal.
Aku benar-benar menghubunginya. Tak butuh waktu yang lama untuk menunggu Iqbal mengangkat teleponnya --sambungan telepon sudah terhubung.
"Hallo, iya Al?" ucap Iqbal di tempatnya kini berada.
"Al?"
Payah! kenapa aku mendadak diam?
"Eh iya, Bal?" parahnya aku malah berbalik bertanya. Kali ini aku benar-benar merutuki kebodohanku.
"Ada apa?"
Aku memperbaiki posisi dudukku sejenak.
"Hmm, aku ganggu ga?"
"Enggak. Emang kenapa?"
"Kamu di mana?"
"Di rumah. Baru pulang dari rumah Witan. Kenapa? Kangen?"
"Eh enggak," jawabku cepat dan terdengar kekehan Iqbal di seberang sana.
"Aku mau tanya. Tentang tadi waktu kamu ke rumah."
Iqbal benar-benar menungguku melanjutkan ucapan.
"Kamu, ngobrol apa aja sama Ayah?"
"Ngobrol apa ya, Al, lupa."
"Ish serius."
"Haha iya, mau jawaban jujur atau bohong?"
"Jujurlah, Bal."
"Ok. Tadi tuh Ayah nanya aku siapa terus aku jawab aku iron man."
"Apa sih, Bal. Katanya serius."
"Ayah kamu cuma tanya keseriusan aku ke kamu gimana." Mendengar ucapan Iqbal membuat jantungku mulai berdetak semakin cepat.
Jadi bener apa yang tadi Ayah bilang?
"Terus aku jawab insyaallah udah lulus nanti aku mau bawa keluarga buat silaturahmi ke rumah kamu. Boleh nggak, Al?" lanjutnya.
Deg!
Mendadak aku sulit bernapas. Panas dingin mulai menyerang tubuhku. Telepon masih terhubung tetapi sudah tak berada di samping telinga. Sekarang yang ada malah tanganku yang bergantian memegang dada lalu pipi.
Iqbal serius nggak sih tadi ngomongnya?
"Hallo? Al? Udah tidur?"
Dengan perasaan yang masih melambung tinggi aku kembali menyahut Iqbal di telepon.
"Iya, Bal?"
"Boleh nggak?"
"Apanya?"
"Aku bawa keluarga ke rumah kamu."
"Hmm, boleh. Buat silaturahmi, kan?"
"Iya, sekaligus cari tanggal."
Ah elah ini Iqbal lagi kenapa? Cape woi sport jantung mulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rasa
Teen Fiction"Jingganya bukan milikku Bukan pula milikmu Jingga itu milik dia yang sadar diri Lalu untuk apa kau tetap disini? Memperlambat semuanya? atau Mempercepat semuanya? Ayolah berucap Jangan kau diam Layaknya orang yang pendiam" Kamu mencintai dia...