🌙: chapter 1

40 11 7
                                    

Malam itu sudah pukul dua. Maddison tengah menggeluti sejumlah latihan soal berhitung nan membuat kacamatanya merosot ke jembatan hidung untuk yang ke sekian kali. Maddison menganggap bahwasanya waktu merupakan keberkahan yang fana. Ia rela memanfaatkan waktu meskipun lelahnya tidak menemukan jeda.

Belajar. Belajar. Belajar.

Sementara sang ibu—Emma—sudah tertidur sejak 4 jam yang lalu. Terdengar tiada suara sedikit pun yang tertangkap dalam rungu si gadis bersurai pendek, hanya goresan antara ujung pensil pada kertas, atau kuku jarinya yang membuat ketukan kecil pada meja.

Hingga pada satu waktu, Maddison dikejutkan oleh suara bel di lantai bawah. Ruangan yang semula sepi dan menenangkan pada malam yang larut, mendadak berubah. Atmosfer seisi rumah terasa mencekam bagi Maddi, ia bisa mencium bau-bau ketidakberuntungan yang berada di dekatnya saat ini. Terlebih, ia merupakan satu-satunya penghuni rumah yang masih terjaga. Astaga. Jantung Maddi untuk beberapa saat, tiba-tiba stagnasi karenanya.

"Orang bodoh mana yang bertamu pada pukul dua malam?" gerutu gadis itu dengan frekuensi suara yang kecil, khawatir suaranya akan terdengar sampai ke lantai bawah.

Meneguk saliva, Maddison meyakinkan dirinya bahwa suara bel itu tidaklah nyata, barangkali ia salah mendengar. Kendati susah payah Maddison mengabaikan suara itu dalam otaknya, bel justru berbunyi untuk yang kedua kali, membuat si gadis semakin diselimuti rasa takut. Tubuh Maddison semakin gemetar mengingat tidak lama setelah bel kedua, kini bel kembali berbunyi untuk yang ketiga kalinya.

Astaga. Ia bisa gila.

Dengan keberanian yang nyaris tidak ada, seorang gadis berusia belum genap 19 itu bangkit dari kursinya, menciptakan derap langkah selambat dan sehalus mungkin, telapak kakinya bahkan tidak menyentuh lantai secara menyeluruh.

Maddison melanjutkan langkahnya kendati napas terputus-putus, dan nyawa yang serasa menggantung di tenggorokan, seiring mendekatnya diri ke pintu utama. Mendadak sepi, Maddi hanya berharap bahwa seseorang di balik pintu adalah tetangganya, bukan jelmaan hantu dengan dua tanduk domba di kepala.

Satu embusan napas keluar, akhirnya Maddison bisa memantapkan diri untuk memutar kunci dan membuka pintu perlahan-lahan; menyisakan sedikit celah baginya untuk mengintip ke luar.

"Halo?"

Untuk beberapa saat, Maddison dibuat terheran karena sahutannya tidak direspon. Embusan angin semakin kencang, hal itu seketika membuat bulu-bulu halus di lengannya kian berdiri. Astaga, aura ini biasanya hanya Maddi rasakan ketika ia tengah menonton film hantu. Perasaan mendebarkan seperti inilah yang paling Maddi benci.

Dengan degup jantung yang tidak karuan, Maddi memberanikan diri untuk membuka pintu lebih lebar. Berharap semua hal yang buruk tidak lain dan tidak bukan hanya bayangannya saja. Semoga.

Napasnya kemudian tercekat mengingat dirinya hanya menemukan angin berisi hampa. Bel yang berbunyi tiga kali itu tidak mungkin sebuah kebetulan, tidak mungkin ia berhalusinasi. Sangat konyol. Tragedi ini membuat reaksi berupa getaran kecil dari ujung kaki dan jari-jari tangannya. Ini buruk sekali.

Tepat sebelum ia berniat untuk menutup pintu, sepasang netra coklat milik Maddi terpaku pada sejumlah lembaran kertas di depan pintu. Tumpukan kertas tua berwarna sedikit kekuningan dengan tulisan tangan huruf bersambung, dilengkapi beberapa gambar yang diwarnai crayon. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Kira-kira siapa yang menyimpan kertas ini di depan pintu rumah? Karena sesungguhnya, di luar begitu sepi, terlihat dengan jelas kalau pagar rumahnya masih terkunci. Jalanan pun sepi ditemani lampu taman yang perlahan meredup cahayanya.

Sayangnya, jangankan untuk menerka-nerka, ia bahkan sudah tidak ada nyali untuk menetap di ambang pintu dengan udara dingin yang mencekik di leher, pula dengan kulitnya yang seolah bisa merasakan aura negatif perlahan menyelimuti. Tanpa berpikir panjang, Maddison dengan cepat menjulurkan tangannya untuk mengambil lembaran kertas tersebut, lalu kembali menutup pintu dengan agresif, hingga menimbulkan suara yang keras pada dinding.

Belum sempat mengolah napas dengan baik, gadis perawakan jangkung itu menghabiskan sisa tenaganya, secepat kilat berlari melewati ruangan-ruangan gelap dan anak tangga, lalu mengunci pintu kamarnya. Meskipun kondisinya kini sudah terbilang aman, Maddison tetap merasa bahwa nyawanya terancam.

"Astaga, tidak apa. Aku masih hidup ... aku masih hidup."

Dengan gontai, Maddison berjalan menuju meja belajarnya, untuk membereskan peralatan yang telah ia pakai selama berjam-jam. Menyimpan buku ke lemari, dan menyusun alat tulisnya serapi mungkin. Maddi memaafkan dirinya untuk kali ini. Meskipun ia masih mempunyai satu jam lagi untuk mempelajari bab baru, tapi apa daya? Nyawanya bahkan sudah tidak betah berada di raga itu, ingin cepat-cepat berkunjung ke alam bawah sadar. Ditambah energinya serasa terkuras habis-habisan karena tragedi tidak menyenangkan yang menimpa Maddison beberapa sekon lalu. Tubuhnya benar-benar lemas.

Omong-omong, tidak lama lagi, Maddison akan menghadapi sebuah tes besar. Tes ini merupakan salah satu hal terpenting bagi hidup Maddison. Werth College merupakan sebuah universitas yang selalu dirinya dan sang ibu dambakan. Jika ia gagal dalam tes ini, hidupnya akan hancur. Rencana hidupnya akan berantakan. Semua usahanya sia-sia. Maddison ingin hidupnya terencana, karena itulah ia tidak pernah berhenti belajar dalam dua bulan terakhir. Kejadian malam ini benar-benar terkutuk karena membuat Maddi kehilangan begitu banyak energi untuk tetap terjaga. Napasnya pun masih tersendat-sendat seperti orang mau mati.

Raganya perlahan menyentuh ranjang, sembari pandangannya tidak teralihkan pada setiap sudut tumpukan kertas tua yang ada di genggaman. Tintanya sudah mulai pudar, tapi Maddison bisa membacanya dengan baik. Tulisannya juga bagus. Sesuatu seolah membawanya ke dalam ingatan masa lalu ketika Maddi membaca judul dari halaman pertama kertas tersebut.





Sebuah dongeng untuk Maddison:

"LE PETIT PRINCE"

Persahabatan antara Kakek Pilot, Maddison, dan Pangeran Ten.

Persahabatan antara Kakek Pilot, Maddison, dan Pangeran Ten

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Le Petit Prince🌙au!Where stories live. Discover now