Prolog

3.4K 650 617
                                    

Welcome to Aether Era—in here, the words 'fairness' and 'freedom' will not apply

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Welcome to Aether Era—in here, the words 'fairness' and 'freedom' will not apply.
—Aretha Hye Eberta

Lorde - Team



Kata kejam mungkin tidak akan cukup untuk mendeskripsikan bagaimana era Aether. Semua nya begitu gelap, meski langit terang benderang juga terkadang pelangi menghiasi, tapi bagi gadis bernama Aretha itu semua tidak akan merubah pandangan nya tentang dunia ini.

Bilamana ia mendengar kalimat "Tuhan itu adil." Maka dengan lantang Aretha akan berteriak kalau itu semua hanya mitos belaka. Atau mungkin, dia bukan makhluk ciptaan Tuhan? Masa iya? Dia punya dua mata, satu bibir dan juga punya satu hidung. Anggota tubuh lainnya juga lengkap tanpa cacat. Dia juga punya pemikiran selayaknya manusia lain kok. Mungkin kalau ia tidak punya hidung, dia akan dengan suka rela menyebut dirinya sebagai Voldemort.

Di era Aether, semua seperti di tindas tanpa sadar, di kekang tanpa mengikat, menunduk patuh tanpa perintah. Kendati orang-orang begitu tunduk, Aretha sama sekali tidak mau ikut tunduk sepenuhnya seperti kebanyakan orang.

Aretha menatap deretan orang-orang yang memandang ke arahnya juga sang ibu dengan tatapan penuh kebencian, jijik seolah ia dan ibunya adalah makhluk bernanah mengerikan. Dasar biadab, pikir Aretha.

Kemudian pandangannya berubah sendu menatap seorang pria paruh baya yang duduk dihadapan tiga orang, memakai baju juga celana berwarna hitam.

"Saudara Rethanian William—."

Maka detik itu pula, dunia Aretha terasa runtuh. Semua kegelapan pandangan nya berawal dari kalimat sang hakim yang menyatakan bahwa ayahnya di vonis hukuman penjara selama 30 tahun atas dugaan penggelapan dana. Aretha berani bersumpah, ayahnya belum pernah sepeserpun merasakan uang yang bukan hak nya. Tapi—entah darimana penuntut sialan itu mendapatkan bukti-bukti biadab tentang ayahnya?!

Ruangan yang mulanya hening berubah ricuh, mereka yang berpihak pada lawan Rethanian melontarkan kalimat-kalimat yang begitu menusuk ulu hati. Aretha ingin menangis, namun ia tidak mau. Ia tidak mau melihat ibu nya semakin terpuruk dan sedih, terlebih ayahnya kini sedang menatap Aretha.

"Jangan senyum!" Aretha berucap tanpa suara menatap ayahnya.

Rethanian tetap tersenyum, seolah mengatakan kalau ia tidak apa-apa.

"Ayah, Aretha bilang jangan senyum!"

***

Sepanjang perjalanan kerumah Aretha terus memikirkan keadaan ayahnya. Setelah tadi mereka berpisah untuk waktu yang lama, Aretha tak mampu untuk menahan air matanya lagi.

"Retha sayang, kamu mau makan apa?"

Liora mengusap pucuk kepala anak semata wayangnya. Aretha diam. Diam bahkan sejak mereka keluar dari ruang persidangan.
Hingga sampai di rumah pun, Retha sama sekali tidak membuka suara. Ia langsung menuju kamar nya yang terletak di lantai dua.

Omong-omong, mereka tinggal dirumah peninggalan kakek-nenek nya, rumah mereka sudah disita oleh kekuasaan tertinggi. Ia menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur, tak kuasa menahan air mata yang kian merembes keluar dari kelopak mata.

"Anjing! Anjing haus uang! Biadab! Keturunan voldemort!" Maki Aretha. Entah pada siapa, yang ada dipikiran nya hanya orang-orang biadab tanpa perasaan yang menuduh ayahnya tanpa belas kasih.

Entah—Aretha tidak mengerti, kenapa dunia era Aether ini begitu kejam? Dimana letak keadilan dan kebebasan? Tidak pernah ada walau setitik pun. Bahkan pendamping untuk masa depan pun semua diatur oleh kekuasaan tertinggi.

Mereka kelak akan dipertemukan oleh waktu yang sudah ditetapkan. Di umur 16 tahun, semua orang akan menerima sebuah file berisi data diri dari pendampingnya lengkap dengan pertemuan mereka. Hanya saja, nama juga photo tidak dilampirkan. Hanya keterangan seperti tanggal lahir, hobi, tinggi badan dan tektek bengek lainnya yang Aretha tidak mau tau.

See? Jodoh saja diatur oleh mereka. Mana ada kalimat "jodoh ditangan tuhan." Yang ada "jodoh ditangan orang." Untung saja ayah dan ibu nya menikah sebelum era Aether.

"Anjing banget YaTuhan ini dunia kenapa sih?!"

Aretha mengusap kasar air mata di pipinya. Beranjak berdiri sembari menghembuskan nafas pelan.

"Liat aja ya lo titisan valak, gue bakalan buktiin kalau ayah sama sekali ngga bersalah!"

Ia hendak keluar kamar, sebelum netra nya menatap sebuah buku yang terletak diatas meja belajar. Mengeriyit bingung, pasalnya ia tidak pernah membeli buku tanpa judul bersampul merah ini dengan lambang burung phoenix ditengah nya.

Mata gadis itu menatap sekitar, seketika ia baru tersadar kalau jendela kamar nya terbuka padahal ia yakin kalau sebelum berangkat ke tempat laknat tadi ia menutup semua jendela kamar.

Mengesampingkan pikiran negatif, Aretha memberanikan diri membuka buku tersebut. Awas saja kalau ternyata ini buku dari orang-orang laknat tadi, Aretha akan dengan bahagia melemparkan buku itu ke sembarang orang. Meski bukan orang itu pelaku nya. Masa bodoh.

Lembar pertama bertulisan kata 'Halo'

"Halo juga, ku."

Iya, seaneh itu Aretha hingga buku pun ia sapa balik.

Hingga lembar kedua matanya mengeriyit penuh tanda tanya. Ada sebuah sticky note dengan tulisan tangan diatasnya. Semakin bingung taktakala ia membaca kalimat nya.

'Hey, kamu rindu keadilan?'




To Be Continue


Akhirnya prolog selesai juga setelah rombak beberapa kali di outline ✨ semoga sesuai harapan kalian ya. Maaf kalau terkesan monoton di awal, semoga di part selanjutnya bisa lebih memuaskan.

Aku memutuskan buat bikin semi baku. Ada beberapa tokoh yang pake bahasa baku tapi ada juga yang engga. Kaya Aretha.

Salam dari era Aether ✨

Salam dari era Aether ✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aretha Hye Eberta

GENTZITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang