[]

360 54 37
                                    


Mendekati upacara kematiannya, Jimin masih terduduk di bawah pohon; menikmati sekon sekon terakhir dalam hidupnya. Ia biarkan tangan tangan panjang rawi menyentuhnya mesra, menaikkan suhu tubuhnya yang telah lama berubah sewarna senja. Sejemang kemudian, putaran klise bergambar tempo lalu yang dilihatnya semusim ini terpandang jelas. Jimin cukup bahagia mengetahui hidupnya yang singkat tidak terasa buruk. Tinggal menunggu seseorang yang akan membantu menyempurnakan esensi hidup Jimin.

          Cuaca hari ini cerah. Warna biru dengan sedikit garis-garis putih memenuhi bumantara. Nyanyian camar terdengar lebih merdu dari biasanya—atau Jimin saja yang selama ini kurang menikmatinya. Ah, sekon-sekon terakhir hidup memang mustahak; segala yang biasa akan menjadi lebih berarti dan istimewa. Ia harap pada hari kematiannya nanti akan seperti ini, cerah. Jimin membayangkan upacara pembakaran yang pernah dilihatnya sekali, yaitu saat kematian temannya beberapa minggu yang lalu. Jimin ingin menangis tapi semesta tidak mengizinkan.

          Ini memang sedikit aneh. Mereka (kaum Jimin) akan merasakan sakit bila masih ada secuil dari anggota tubuhnya yang belum jadi debu-meski sejatinya mereka telah mati dan separuh darinya telah lenyap. Siapa yang sanggup melihat anggota tubuhnya hangus sedang yang lain masih tampak dan terasa sakit? Jangan tulis nama Jimin dalam daftar. Dia bergidik ngeri saat dengar cerita itu dari seorang teman. Jimin ingin dikubur saja.

×××


Semusim ini, hidup Jimin baik-baik saja; tidak kurang suatu apa pun. Jimin punya Taehyung yang selalu memberikan ia air dengan cuma-cuma. Selalu menemani Jimin sepanjang siang dan malam, kendati Taehyung kadang-kadang berpergian sebentar. Yang kalau ditanya ke mana? Taehyung suka menjawab: berpetualang. Ah, seandainya Jimin dapat ikut berpetualang bersama temannya.

          Bagi Jimin, Taehyung adalah satu-satunya teman yang bukan dari kaumnya. Telah diakuinya kalau Taehyung itu elok. Rupawan meski abstrak dan tidak bisa diprediksi. Seperti dua hari yang lalu, teman yang selalu dipandanginya itu berpulang ke ranah tanah. Taehyung sempat meneriakkan ucapan perpisahan ketika tubuhnya mulai menghitam. Ia juga kian berat hingga tak dapat dikendalikan lagi. Kemudian Taehyung rubuh. Tangannya membelai Jimin lembut.

          "Selamat tinggal, sampai bertemu di ranah tanah," kata Taehyung sebelum sisa nyawanya habis. Jimin ingin menangis, tapi—sekali lagi—ia tidak bisa karena semesta tidak berkehendak. Kenangan tentang Taehyung berputar-putar. Jimin ingat nasihat hidup dari Taehyung.

          "Semua akan mati dan melebur dengan semesta, Jimin. Seperti kita yang sudah bertakdir untuk berkalang tanah. Itu sudah jadi esensi hidup kita." Begitu kata Taehyung menguliahi Jimin di suatu siang. Jimin hanya manggut-manggut.

          Mengenang itu, Jimin teramat merindukan Taehyung padahal baru dua hari ditinggal. Jimin kesepian, ia sungguh menunggu kematiannya.

×××


Jimin tidak lagi duduk di bawah pohon. Angin yang berhembus terasa sedikit dingin. Jimin kini duduk di ujung kursi. Dia masih menanti seseorang untuk memimpin upacara kematiannya. Biasanya, seseorang itu datang ketika hari menuju sore, seperti sekarang.

          Tetapi seorang gadis dengan surai coklat legam datang lebih dulu. Ia duduk di kursi yang sama dengan Jimin. Ia di ujung kanan, sedang Jimin mengisi yang kiri. Mata dan hidungnya merah, seperti habis menangis. Barangkali gadis itu baru saja putus dengan kekasihnya.

          Selepas membuang tisu berlumur ingus, gadis itu melirik Jimin lalu bilang, "Cantik."

          Jimin hanya diam; bersikap anggun seperti biasanya. Dia tahu kalau dirinya sudah elok sedari lahir. Lebih elok dari teman-temannya, malah. Tetapi jangan bandingkan keelokan Jimin dengan Taehyung! Tentu keelokan keduanya tidak dapat diadu banding, sebab keduanya berbeda.

          Tidak disangka, gadis itu memegangi Jimin. Lalu, membawanya pergi ke tempat yang asing. Mengusap tubuh Jimin dengan kuas, membalutnya dengan selimut bening, lalu menguncinya di tempat dengan deret aksara yang tidak bisa Jimin baca.

          Jimin menjerit dalam diam, menangis dalam kering, memohon dalam hening. Dia ingin dikubur, dia ingin berselimut tanah, dia ingin menemui Taehyung di sana. Tetapi nasib tidak berpihak padanya. Dan sebetulnya, Jimin tidak sadar, dia telah mati sejak terduduk di bawah pohon. [selesai]

__________
Sebetulnya cerita ini sudah lama mengendap. Tetapi karena aku baru mood menulis kemarin, jadi aku putuskan untuk memublikasikan ini pada hari ulang tahun Jimin. Ya begini, enggak nyambung sama tema hari ulang tahun, XD.

🎉 Kamu telah selesai membaca 𝙨𝙖𝙧𝙬𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙠𝙖𝙡𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙣𝙖𝙝 🎉
𝙨𝙖𝙧𝙬𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙠𝙖𝙡𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙣𝙖𝙝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang