Murni

4 1 0
                                    


Murni, nama seorang perempuan yang sudah cukup berumur terlihat kelelahan memangkul tumpukkan koran di kedua lengannya dengan pakaian yang sudah lentur dan diselimuti debu dan keringat. Ia mengundang pejalan kaki, bahkan pengemudi, agar mereka mau menukar sepeser koin rupiah dengan koran-koran. Tak disangka, seorang laki-laki berpenampilan rapi dengan jas hitamnya menghampiri sang perempuan dengan senyum hangat. Ia membeli satu koran dan memberikan 500 rupiah kepada penjual. Laki-laki itu bertanya kenapa perempuan sepertinya sibuk berjualan di bawah teriknya matahari. Ia juga bertanya dimanakah suaminya. Murni itu tersenyum sambil menghela nafas masa lalu. Ia menggantikan posisi suaminya sebagai pencari nafkah, ditinggal berdua dengan anak satu-satunya yang masih duduk di bangku TK. Entah kemana suaminya pergi, ia hanya bisa menghadapi dunia dengan sabar dan lapang dada. Hanya anaknya lah satu-satunya alasan ia berjuang. Mendengar kilas cerita itu, si pria rapi itu terdiam melihat mata ibu itu yang menahan perasaan lalu melihat ke tanah. Ia berpikir sejenak, lalu menggapai kantung jas dalamnya yg berisikan kartu tanda pengenal. Yoga, nama yang tertampang dengan indah di kartu tersebut, dengan coretan emas yang cocok menandakan bahwa itu adalah dia. Ia menawarkan lowongan kepada ibu itu sebagai pelayan yang mengantar pesanan pelanggan-pelanggannya dan gajinya pun melebihi kecukupannya dan anaknya sehari-hari. Air jernih terjun dari matanya, disinari matahari terik. Sang ibu berterima kasih kepada penyelamatnya.

Dengan rasa lega dan bahagia, Murni bersiap-siap dengan mengenakan sisa pakaian yang masih bersih untuk datang ke tempat kerja yang pria itu tawarkan. Ia ingin terlihat rapi ketika diwawancara. Tentu saja ia memberitahu anaknya sekilas apa yang akan mereka dapatkan. Mereka akan mendapatkan kehidupan layak yang anaknya pantas dapatkan. Ia bergegas otw menggunakan angkutan umum. Sesampainya di sana, ia terpukau dengan besar dan megahnya lampu-lampu neon yang terpapang tegak di dinding depan tempat itu. Ia melihat bar, meja makan, serta penari-penari yang terlihat anggun, dan lagu yang menenangkan suasana di dalamnya. Ia menggerakkan kakinya menuju ruang manajer sambil melihat sekelilingnya dengan takjub. Betapa mewahnya tempat yang akan menggajinya. Di lantai atas yang ia lewati, ada banyak ruangan yang tertutup dengan pintu kayuh tebal yang terlihat cukup mahal. Di dalamnya ada berupa-rupa fasilitas seperti karaoke dan kamar penginapan. Namun, ia memaksakan dirinya tuk focus pada wawancara yang akan ia hadapi. Ia mencoba untuk tidak terikat dengan bayangan gaji lebih. Masuklah ia ke ruangan tujuannya di lantai 5. Terlihat Yoga, pria sebelumnya dengan rapi sembari menghisap cerutu. Ruangannya terlihat nyaman. Sofa dan karpet yang terlihat empuk dan hangat menyelimuti ruangannya menjadi merah. Jendela di belakang meja kerjanya yang besar memperlihatkan betapa luasnya kota yang mereka tinggali. Murni memperkenalkan diri dan berdiri tegap sekaligus gugup menunggu arahan yang akan diberikan padanya. Yoga hanya melihatnya dengan tatapan serius dari atas hingga bawah. Tanpa pikir panjang, perempuan itu langsung diterima dan pria itu menjadi manajernya yang akan membantu melangsungkan kehidupan anak si ibu itu.

Sore hari menjelang malam, Murni dengan seragam pelayannya akan menjalani tugas pertamanya. Ia melihat rekan-rekan pelayan lainnya dengan make-up mencolok yang menghiasi penampilan mereka. Pembicaraan kecil mereka hanya berupa lamanya jam kerja mereka dan pelanggan-pelanggan yang akan mereka layani. Murni yang dengan imajinasinya sebagai pelayan yang mengantarkan makanan dan menerima tips, tanpa memikirkan hal-hal lain, bersiap tuk melakukan tugasnya. Entah bagaimana perkerjaan yang akan ia hadapi nanti, wajahnya menggambarkan kenaifan seorang yang belum mengenal betul seekor feline liar.

Namanya Murni dipanggil. Ia ditugaskan tuk mengantarkan pesanan berupa salad dan minuman beralkohol ke salah satu ruangan yang tertutup rapi di antara ruangan karaoke lainnya. Ia memasuki ruangan sang pemesan dan cukup kaget. Isinya adalah 4 pria paru baya yang asik tertawa dengan obrolan mereka. Wajah mereka yang merah dan bau alkohol yang tersebar di seluruh ruangan, mengejutkan Murni. Namun ia tanpa pikir panjang melakukan tugasnya. Ia menaruh pesanan mereka di atas meja di tengah ruangan. Pria-pria tersebut melihat raga Murni yang rapi dengan seragamnya. Mereka melirik satu sama lain, kemudian menutup pintunya, membuat Murni berdiri dengan kebingungan di antara mereka. Yang menutup pintu langsung menyergap Murni dengan nafas berat dan bau alkohol yang keluar dari mulutnya. Murni dengan reflek berteriak dan memukulnya. Ia meminta tolong kepada tiga pria lainnya. Namun, mereka juga ikut menyergap Murni. Berteriak meminta tolong, taka da satupun yang datang membuka pintu. Rekan-rekan pelayannya hanya mengintip melihat Murni yang tanpa busana, tertawa melihat Murni yang mereka anggap pemula dalam perkerjaan mereka. Lalu mereka menghiraukannya dan lanjut berkerja. Murni dengan rasa malu, takut, dan sakit, tak mampu melawan kekuatan empat pria yang bermain-main dengan tubuhnya. Ia hanya bisa pasrah dan mengharapkan pertolongan.

Entah berapa lama ia tersiksa, pria-pria tersebut meninggalkan Murni sendirian di ruangan itu dengan rasa lega dan puas. Murni terpapar di lantai dan dikelilingi banyak mata uang, tak sanggup menahan tangis. Ia kemudian mendatangi Yoga sang manajer dan menceritakan apa yang baru saja ia alami. Yoga tersenyum, "nanti juga terbiasa." Rasa kecewa begitu besar telah mengisi hati Murni. Dengan amarah, Murni mengatakan bahwa ia ingin berhenti. Yoga tertawa melihat reaksi Murni yang begitu polos. Ia memanggil kedua asistennya masuk ke ruangan, menahan kedua tangan Murni dengan kuat. Murni berteriak meminta tolong. Yoga masih dengan senyumannya menghampiri Murni yang tak berdaya. Membuka celananya, lalu melakukan aksinya. Murni tidak bisa berkutik, hanya bisa menendang-nendang. Yoga yang terus menyerang Murni tidak memedulikannya. Hingga akhirnya Yoga selesai menggunakan Murni, ia memerintahkan asistennya tuk membuang Murni dengan seragamnya yang kotor dan basah ke jalanan.

Murni sambil menangis berusaha untuk pulang dengan berjalan kaki. Ia menutupi tubuhnya dengan kedua tangan, mencoba untuk melindungi harga dirinya yang telah dirampas dua kali. Namun waktu tidak bisa diputar ulang. Tanpa Murni sadari keesokan harinya wajahnya sudah disebar luas ke sebuah situs dewasa oleh empat pelanggan pertamanya melalui video perlakuan mereka kepada Murni yang direkam secara diam-diam.

MurniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang