CHAPTER XII : RUMAH PERTAMA.

7.1K 470 12
                                        


Zurich, Swiss
Rumah Zed bukan istana, tapi bukan rumah biasa. Bangunan bergaya Eropa klasik dengan dinding batu abu yang dingin dan jendela besar, semua terasa seperti tempat persembunyian dalam dongeng kelam.

Almira berdiri di ambang pintu kamarnya.
Kamar pernikahan mereka—tapi juga kamar musuh, tempat dia dipaksa tinggal dengan pria yang hidupnya berdarah.

Zed sedang berdiri di balkon, dengan rokok di tangan dan tatapan kosong ke arah salju yang perlahan turun.
“Kalau kamu nggak nyaman, aku bisa tidur di ruang sebelah,” katanya tanpa menoleh.
Almira menggenggam lengan bajunya sendiri, kaku.

“Aku nggak takut tidur sekamar.”
“Tapi aku takut bangun di dunia yang bukan punyaku.”
Zed akhirnya menoleh, matanya tajam. Tapi suaranya tetap datar.
“Dunia ini nggak punya siapa-siapa, Almira. Bahkan kamu.”

Ia mematikan rokoknya, berjalan melewatinya, dan membuka lemari—menunjukkan piama bersih yang dilipat rapi.
“Aku nggak bakal nyentuh kamu sampai kamu mau.”
“Tapi ingat, kita udah sah. Jadi kalau kamu pengen pergi, bukan karena aku bukan suamimu… tapi karena kamu nggak pengen jadi istriku.”
Almira tidak menjawab.
Matanya memerhatikan tatto kecil di bawah telinga Zed yang sempat ia lihat waktu Zed memukul Arnold.

Tulisan kecil dalam bahasa Latin:
"Finis vitae sed non amor" – Akhir dari hidup bukanlah akhir dari cinta.
Dia duduk di pinggir ranjang.
“Zed.”
“Kenapa kamu pilih aku?”
Zed menatapnya untuk pertama kalinya malam itu—mata kelam yang pernah melihat ratusan kematian.
“Karena kamu satu-satunya yang nggak nyerah walau tahu kamu nggak bisa menang.”

Hening.

Lalu Zed berjalan keluar kamar, mengunci dirinya di ruang latihan bawah tanah.

Sementara itu...
Di kamar lain, Alya masih duduk bersandar pada dinding. Bajunya diganti, tapi jilbabnya masih memiliki bekas darah, meski sudah kering.
Dax ada di pojokan, sedang merakit ulang senjata yang bahkan Alya tak bisa namai.

Suaranya rendah, tapi tiba-tiba ia bicara:
“Kalau kamu pengen kabur, kabur aja.”
“Aku nggak bakal tahan. Tapi aku bakal cari sampe dapat.”
Alya membalas tanpa melihat:
“Aku nggak akan kabur. Tapi aku juga nggak akan tunduk.”
Dax mendongak. Senyumnya yang miring kembali muncul.
“Gue udah tahu dari awal kamu keras kepala.”

“Tapi lu gak tau, Alya... gue suka keras kepala.”
Alya menghela napas.
“Kamu bisa bercanda setelah nyaris nembak aku.”
“Aneh.”

Dax tertawa pelan.
“Gue emang aneh. Tapi kan gue suami kamu sekarang, jadi selamat menyesal.”
Kamila duduk di pojok ruang baca, mengenakan sweater panjang dan celana hangat. Buku tafsir di pangkuannya, tapi matanya tak membaca.

Zion berdiri tak jauh di dekat rak, menyusun peluru ke dalam magazine senjatanya. Bunyi logam itu seperti nyanyian kematian—dingin, tapi teratur.
“Kamu gak akan pernah buka percakapan dulu, ya?” tanya Kamila pelan, masih menatap halaman yang tak dibacanya.

Zion tak langsung menjawab. Ia hanya menyelipkan senjata ke balik jaketnya, lalu duduk di kursi seberang Kamila.
“Aku diajarin… orang yang banyak bicara biasanya gak bisa dipegang ucapannya.”

Kamila menutup bukunya.
“Berarti aku gak bisa percaya sama kamu?”
Zion menatap langsung, tapi tak membalas. Hening panjang terjadi di antara mereka, tapi bukan hening yang tak nyaman—melainkan hening yang mengungkap isi hati yang tak bisa dikatakan.

“Kamu takut sama aku?” Zion akhirnya bertanya.
Kamila menggeleng.
“Aku takut kalau kamu hilang... tanpa aku pernah tahu siapa kamu sebenarnya.”

Zion hampir bicara, tapi ia menelan kembali. Tangannya mengepal.
“Kamu satu-satunya yang bisa liat aku... tapi juga satu-satunya yang gak boleh deket-deket.”

Kamila menatapnya tajam.
“Terlambat. Aku udah terlalu deket. Dan aku gak akan mundur, Zion.”
Zion berdiri. Dia tak bicara, tapi ia pergi ke dapur, dan kembali... membawa selimut tebal.
Ditaruhnya selimut itu ke punggung Kamila tanpa berkata apa-apa. Lalu kembali duduk.
Mereka tetap diam. Tapi hati mereka sudah bicara terlalu banyak.

***

Rahma berdiri di jendela kamar mereka. Tangan kirinya menggenggam kalung peninggalan ibunya. Kalif duduk di kasur, mengenakan kaos hitam, membuka-buka berkas foto tua.

Foto pembunuh kakaknya. Foto ayahnya yang mati di depan mata. Foto masa lalu yang tak bisa ditinggalkan.
“Kenapa kamu bawa aku ke sini?” tanya Rahma lirih.
“Kamu gak butuh istri. Kamu butuh pembalasan.”
Kalif menatap foto itu lebih lama. Lalu mengangkat wajahnya.
“Aku butuh kamu. Karena kamu satu-satunya alasan aku gak gila ngebunuh semua orang.”

Rahma menoleh, wajahnya keras. Tapi matanya basah.

“Aku bukan penawar racun. Aku juga luka, Kalif.”

ROSE'S  FOR THE DEAD. (SEGETA TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang