part 1

23 2 0
                                    

Long distance relationship atau lebih umum dikenal dengan LDR. Seperti yang ku jalani saat ini. 1 tahun lama nya saat terakhir kali ku antar ia dari stasiun Manggarai menuju Bogor, kota hujan yang kerap bekerja sama dengan ku untuk menyalurkan kerinduanku padanya. Laki-laki hebat yang terlalu mustahil ku gapai tetapi akhirnya bisa.

22.30, jam waktu kami bertemu. Rasa lelah dan penat seharian akan hilang bila sudah menatap wajahnya. Video call adalah cara terasik untuk menatap kumis manisnya, memperhatikan bulu matanya yang sama lentiknya seperti punya ku dan terakhir mataku selalu hinggap dibibir mungil nya. Aku rindu masa-masa kami selalu bersama, menghabiskan waktu dengan tidak ada jarak diantara kami.

Drttdrtt..

Handphone ku bergetar, satu pesan dari dia menanyakan

“kamu sudah dirumah sayang?”

“sudah mas. Kali ini aku menang!!” jawabku girang.

“hadu, tugas kuliah ku numpuk bgt. Bsk pasti aku akan menang mandi duluan." kubaca pesan itu sembari tersenyum lebar.

Ya, kami mempunyai kebiasaan berlomba siapa yang lebih dulu siap untuk bertemu dia lah yang akan menentukan ‘besok akan pakai baju apa’ untuk kami masing-masing. Cara yang aneh, tetapi ampuh untuk terus teingat satu sama lain seharian.

Panggilan vidio masuk. Selayaknya pasangan pada umumnya, setelah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menebus rasa rindu, aku memposting distatus ku screenshot muka kami sedang tertawa, hasil candannya malam itu. Screenshot itu bercaption ‘missing u’. Ada beberapa teman ku yang berkomentar, ‘duhh so sweetnya, coba aku bisa kayak kamu’ yang ku balas dengan emot tertawa saja.

Karna malam semakin larut dan aku tidak ingin terlambat masuk kelas esok, ku putuskan untuk tidur sambil membayangkan besok aku harus memilihkan baju untuknya.
                             
                               ***
Aku mempunyai orang tua yang overprotective. Jangankan untuk pacaran, jajan cimol depan rumah saja tidak boleh. ‘bahannya kan kita ga tau sayang bersih atau tidak.’ ‘nanti kamu sakit perut loh, kan ada alergi penyedap rasa.’

Ya begitulah hidupku. Hambar. Tidak merasakan sesuatu yang nikmat. Sampai aku menyadari perasaan itu, perasaan yang mengubah hidupku menjadi tidak hambar lagi dan aku baru menyadarinya. Ya dia, selama ini dekat namun aku tidak menyadarinya. Terimakasih sudah memberi penyedap rasa dihidupku walau ku tahu akhirnya alergi ku akan kambuh juga.

Aku tidak menceritakan kepada siapapun mengenai laki-laki yang sudah setahun mengisi kekosongan hatiku, memberitahu bahwa mimpi-mimpiku akan terwujud, semua anganku akan tergapai. Tapi terkadang akupun dilanda cemas, takut, apabila semua diluar kendaliku. Tapi yang harus kalian tahu.

Dia. Selalu. Ada.

                              ***
Jam terakhir sudah selesai, ku bereskan semua barangku diatas meja dan ingin bergegas pulang. Lelah sekali hari ini. Tetapi salah satu teman ku menghampiri meja ku.

“sa, hari ini anak-anak mau ngerjain tugas bareng di soja. Ikut ya..” nama panggilan ku sasa, teman ku fina dan soja adalah caffe yang mayoritas diisi dengan anak-anak kampusku.

“ikut deh gue, bentar aja ya. Capek banget soalnya.” jawabku yang tidak enak menolak ajakan temanku. Lagipula sudah lama aku tidak nongkrong disana.

Selepas menelfon izin ke orang tua dan laki-laki kesayanganku, aku membuka leptop dan mulai serius mengerjakan tugas yang deadline nya masih minggu depan. Aku ingin quality time dengan laki-laki ku dan tidak ingin diganggu hanya karna tugas yang menunggu untuk diselesaikan.

Saat tersadar, jam menunjukan pukul 22.15. pengunjung cafe pun satu persatu meninggalkan tempatnya. Terlihat wajah teman-temanku yang sangat lelah, hari ini tidak ada yang bercanda semua serius hahaha. Dan aku langsung teringat. ‘AH SEBENTAR LAGI’ tidak akan cukup waktunya sampai rumah hanya dengan 15 menit saja.

Ditengah kegusaran ku sembari membereskan barang terdengar suara lembut seorang laki-laki menawarkan tumpangannya pada ku.

“sa, udah malem. Busway juga udah ga ada yang kearah rumah lo. Mau gue anter?” tawarnya.

“eh ga usah val, gue naik taksi aja” tolak ku sehalus mungkin.

“udah malem banget sa, gue takut kenapa-napa deh lo naik taksi.” Sahut fina terselip nada khawatir.

“gimana?” tawar valdo lagi

“boleh deh, sorry ya jadi ngerepotin.” Setelah itu teman-temanku langsung bersuit-suit jahil. Meledekku pulang bersama valdo.

Saat dijalan keadaan sangat canggung dan valdo menyadari itu, akhirnya ia memutuskan untuk menyalakan sebuah lagu. Aku tidak mengerti lagu itu tetapi iramanya sangat nyaman dan akupun jatuh tertidur. Sampai aku merasakan tepukan halus di bahuku.

“sa, udah sampe” dan aku terbangun. Jam 23.30.

“jalanan macet banget, padahal gue udah nyari rute tercepat. Sorry ya jadi kemaleman.” Ucap valdo sembari mengelus bagian belakang kepalanya.

Aku menegakkan badan sambil membereskan barangku.

“btw, tadi ada yang nelfon lu kayaknya. Bunyi dari dalem tas.” Aku merasakan tubuhku membeku. Astaga.

“oke, makasih tumpangannya ya val. Hati-hati dijalan.” dibalasnya dengan senyum sambil mengangguk oleh valdo.

Rumahku sudah gelap tetapi beberapa masih dinyalakan lampunya karna tau aku akan pulang larut. Setelah membersihkan diri aku mengecek ponselku benar saja. 15 pesan belum terbaca dan 8 panggilan tak terjawab serta panggilan video di jam 22.30 yang tidak ku angkat. Kuputuskan untuk melihat pesannya terlebih dahulu.

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang