Davian menutup laptopnya. Ia baru saja menyelesaikan tugasnya. Semester depan ia berharap bisa mengerjakan skripsinya dan wisuda. Ia sudah berpikir kedepannya. Ia harus lulus dengan nilai memuaskan. Ia bisa bekerja. Ia punya cita-cita menikahi sang kekasih.
Tapi akhir-akhir ini Davian merasa kalau hubungannya dengan Salsha, sang pacar, sedang hambar. Salsha tidak membalas chatnya sejak kemarin dulu. Ia juga tidak bisa menelpon Salsha karena takut Salsha sibuk mengerjakan tugas.
Kamu nggak ngebalas chat aku 2 hari ini.
Aku telpon sekarang, yah?
Davian mendial nomor Salsha. Suara penghubung telepon mulai terdengar di telinganya. Ia sebenarnya sedikit gugup, takut Salsha menolak teleponnya atay bahkan tidak mengangkatnya. Ia merindukan sang pacar.
"Halo!"
"Halo. Sha?"
"Iya, Dav?"
"Kok, chat aku nggak dibales-bales dari kemarin? Kenapa?"
"Kemarin aku liat instastory Shava, kamu jalan sama dia."
Davian menunduk. Ia jelas tahu bahwa Salsha akan menuntut penjelasan. Tapi Davian berani sumpah kalau ia tidak ada hubungan apa-apa dengan Shava yang notabenenya sahabat Salsha dari SMP. Ia hanya memenuhi undangan untuk hangout bareng. Karena Salsha tidak membalas pesannya sejak 2 hari lalu, akhirnya Davian pergi tanpa izin Salsha.
"Aku sama Shava hanya teman, Sha. Kamu tahu itu, kan? Kita cuma hangout bareng. Lagipula, aku nggak macem-macem."
"Trus aku juga pernah liat kamu chatan sama dia juga."
"Sha, apa ada yang salah aku chatan sama Shava? Kamu tahu kan aku orangnya kayak gimana? Dia chat, aku bales. Itu aja."
"Di sisi kamu emang biasa aja. Kamu anggep dia teman, tapi di sisi dia. Dia bisa aja salah paham."
"Shava tahu kalau aku pacar kamu. Shava juga tahu kalau aku cintanya sama kamu. Dia sahabat kamu juga."
Davian tahu akhir-akhir ini hubungan persahabatan Shava dan Salsha merenggang. Davian tahunya karena Shava dan Salsha berbeda pendapat saja. Menurut Davian itu wajar saja dalam hubungan pertemanan atau pun hubungan lainnya. Beda pendapat itu sudah sering terjadi.
"Salah nggak sih kalau aku minta kamu jauhin dia?"
Davian terdiam sejenak, "Nggak salah. Hubungan kita bukan hubungan satu orang, tapi dua. Nggak selamanya kamu harus ngikutin aku, begitupun sebaliknya."
"Kita udah 2 tahun, Dav, sama-sama berkorban. Korban waktu, perasaan, materi. Aku nggak mau kalau perngorbanan kita yang 2 tahun itu sia-sia."
"Iya aku tahu. Maka dari itu, harus yah kamu cemburu kayak gini?"
"Kamu ngerti maksud aku kan, Dav?"
"Iya, kamu berpikir kalau aku tidak menghargai hubungan kita. Aku emang nggak pernah ngertiin kamu." Davian mulai emosi. Ia sudah sangat lelah berdebat dengan Salsha. Padahal ia menelpon Salsha karena ia rindu, bukan untuk berdebat.
"Davian.... Bisa nggak sih kamu cerna sedikit kata-kata aku. Kamu terlalu berpikir tanpa mencerna semua yang aku katakan. Dav, kita nggak bisa terus-terusan kayak gini."
"Sha."
"Dav," potong Salsha. "Aku capek. Kamu nelponnya nanti aja, yah."
Telepon terputus. Davian hanya bisa menatap layar ponselnya yang menampilkan foto Salsha. Lagi. Masalah mereka tidak menemukan jalan keluarnya. Davian menghela nafas pasrah. Ia harap, besok Salsha akan merasa baikan dan bisa diajak bicara baik-baik.
***
Salsha menelungkupkan wajahnya di bantal. Ia menangis. Menangisi kisah cintanya yang semakin hambar. Tidak ada lagi Davian yang mencintainya seperti dulu. Tidak ada lagi cerita-cerita seru yang selalu Davian ceritakan. Sekarang mereka terus-menerus berdebat.
Hubungan gua sama Davian udah nggak sehat, pikir Salsha.
Bunyi notifikasi ponselnya membuat Salsha melirik ponselnya. Ada chat masuk.
Bara Saputra
Kamu masih sibuk? Kalau udah bisa aku telpon, kabari ya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Davisha Story
Teen FictionDavian adalah mahasiwa semester 7 jurusan Bahasa Jepang. Ia memiliki seorang kekasih bernama Salsha yang juga semester 7 jurusan Manajemen Bisnis. Mereka sudah menjalin hubungan cukup lama yaitu 2 tahun. Tapi 2 tahun itu berubah menjadi hambar. Tida...