"Apa kamu nggak kecewa?"
Suaranya terdengar jelas, sangat jelas bahkan di telinga ku. Namun, saat kata itu keluar dari mulutnya. Semuanya terasa hilang dalam sekejap. Tidak ada gambaran apa-apa di kepalaku. Aku tidak mengingat tentang kemarin, dan tidak pula membayangkan tentang esok. Hanya ada hari ini dan sekarang. Hanya ada danau yang terlihat begitu tenang di depan kami.
Riakan airnya bergoyang anggun. Beberapa teratai telah mekar. Mereka semua berbeda, namun terlihat indah dengan warnanya masing-masing.
Untuk sejenak, dunia terasa begitu damai. Begitu menenangkan dan menghanyutkan. Kebahagiaan itu mahal, karena setelahnya harus ada luka sebagai tebusan.Kami berdua berdiri bersisian, menyaksikan fenomena alam yang begitu luar biasa bagi kami. Jenis keheningan yang menenangkan. Bukan keheningan awkward seperti saat kau ketahuan mencontek teman saat ulangan harian. Atau mungkin, saat kau ketahuan bahwa diam-diam menyimpan foto ketua osis. Ini keheningan yang menenangkan. Sudah hampir tiga puluh menit dua puluh detik kami di sini. Tapi laki-laki ini menanyakan hal yang sama padaku, lagi.
"Ayo kita pulang." Jawab ku singkat untuk pertanyaannya. Cahaya oranye yang menimpa wajahnya bisa membuat ku gila. Aku takut kalau dunia yang ku jalani selama ini hanyalah sebuah mimpi. Dan ketika ku terbangun di pagi hari, ternyata hanya sebuah guling yang ku ajak bicara.
"Gue nggak mau." Dia bergeming di tempatnya.
"Ya sudah, aku pulang sendiri." Aku melangkah pergi meninggalkan ia di tepi danau.
"Naik apa?" Tanyanya, suaranya terdengar serak dan sedikit khawatir.
"Ojek."
"Jangan bercanda. Kamu bahkan nggak punya aplikasi ojek online di hp kamu. Dan kamu tau ini daerah privat keluarga gue." Lihatlah mukanya bahkan terlihat sangat serius.
"Dari mana kamu tau itu? Kamu buka hp orang tanpa sepengetahuan pemiliknya. Itu Ilegal."
"Salah siapa ngga dikunci."
"Apa kamu benar-benar membuka hp ku? Kapan, di mana, j-"
"Stop!"
"Ya, aku minta maaf. Makannya ayo pulang."
"Jawab dulu pertanyaan gue, baru kita pulang." Ucapnya dengan keukeh.
"Di sini banyak nyamuk. Enak kamu nggak digigit, aku sudah bentol sana-sini Kev."
"Ya sudah, ayo ke mobil. Jawab di sana dan jangan mengelak lagi." Kevin memimpin di depan. Dia terlihat begitu serius, selalu serius disetiap moment. Salahakan alis tebalnya.
Sore ini kami melihat sunset di tempat yang sama. Danau milik keluarga Kevin. Danau itu masih sama persis seperti waktu pertama kali aku datang. Sepi dan tidak ada orang. Danau ini berada di pekarangan keluarga Kevin. Dan aku selalu ke sini tanpa tiket masuk. Ya benar, gratis. Ini memang bukan tempat wisata. Tapi masuk ke sini bukan perkara mudah.
"Jadi, apakah kamu kecewa?" Baru saja menjatuhkan pantat ku ke kursi empuk. Pertanyaan itu terulang lagi. Terdengar seperti kaset lama milik kakek dirumah.
"Kamu serius masih menanyakan hal itu? Aku lagi mood swings tanyanya besok-besok saja."
"Ayolah! Sudah berapa kali kamu php-in gue?"
"Baru kali ini aku php sama kamu."
"Kamu ingat, saat kamu mencuri melon gue di perkebunan nenek satu bulan delapan hari lalu?"
"Kamu pelit sekali Kev. Kamu bahkan punya kebun melon, aku minta satu saja kamu perhitungan sekali. Dihitung harinya pula. Kamu benar-benar PE-LIT."
"Kamu kalah quiz waktu itu. Jadi itu melon gue. Itu termasuk pemberi harapan palsu asal kamu tau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Levanter
Teen Fiction"Dia terlihat rumit. Sesungguhnya ia manusia paling sederhana yang aku tau." . . . Ini cerita amatiran. Tercipta saat aku lagi melamun atau nunggu jam masuk pelajaran, istirahat, di bus. Dimanapun ide itu muncul. Semoga suka, ambil baiknya buang bu...