Terlalu Banyak Perbincangan Terjadi Saat Hujan
Ia menatapku tertarik saat aku mengatakan hal tersebut, "Masa iya begitu, sih?" ujarnya ragu.Aku mengangkat bahu, "Buktinya sekarang kita mengobrol, kan?".
"Kok, alasannya agak cetek?" Ia menyodorkan bungkus berisi keripik yang tengah Ia kunyah. Mungkin setengah menyogok agar aku berhenti berbicara.
"Sebenernya gua cuma mau membuat istilah 'anak senja' versi baru, sih. Kayaknya istilah tersebut udah jadi terlalu 'terkenal' dan jadi punya arti jelek", aku membentuk tanganku menjadi mangkuk, membiarkan ia menuangkan seperempat bungkus isi keripik. Mukanya terlihat menyesal, mungkin teringat kalau selera makanku besar.
Ia meletakkan bungkus keripik di meja jauh dari ku. Aku berusaha mendapatkan perhatiannya agar memberikan keripiknya kembali, tetapi sepertinya tidak akan bekerja.
"Memangnya apa sih artinya anak senja?" ujarnya sambil kembali menatap hujan di luar sana.
Aku diam-diam sebal karena tidak bisa meminta tambahan keripik untuk sementara. Tetapi daripada sebal, kupikir lebih baik menikmati yang sudah ada sajalah.
"Kayaknya, sih, orang yang suka banget sastra. Baca dan bikin puisi. Dengerin musik Indie. Mereka biasanya aktif sore-sore gitu. Sambil minum kopi. Makanya, anak senja,"
Ia mengernyit, "Artinya gak jelek, ah,"
Aku mengangkat bahu, "Apapun yang dilakukan golongan orang yang termasuk milenial, bakal dianggep buruk. Ya, gak, sih?"
Ia tertawa.
"Terus, apa hubungannya sama ngobrol?"
Aku mengangkat bahu, "konon katanya, anak senja jadi sering ngobrol kalau udah... senja. Obrolannya juga jadi lebih... bijak? Bermakna? Gitu, deh?"
"Jadiii... obrolan kita lebih bermakna kalau hujan, gitu?"
"Gaaaak jugaaa siiih. Tapi, kita jadi ngobrol, toh?"
"Iya, iya, deh," ujarnya kalah. Aku hanya bisa nyengir kali ini.
Ia lalu terlihat menggapai-gapai sesuatu di sampingnya. Aku yang tengah mengunyah keripik terakhirku, berharap itu adalah keripik. Tetapi yang Ia ambil adalah handphone.
"Lu inget, anak AE baru kantor gua itu?" bisiknya.
Aku mengangguk.
"Dia baru aja resign. Minggu lalu,"
Beku.
Untuk sesaat, rasanya bunyi hujan di luar sana semakin deras.
Ini adalah salah satu cerita yang sempat kami khawatirkan selama berbulan-bulan.
Kantornya kedatangan Account Excecutive baru. Tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa AE baru ini kerepotan beradaptasi. Dan hampir semuanya menyadarinya dengan... memberikan reaksi yang tidak membantu.
Perilakunya yang.... dianggap berbeda, tidak "sesantai" karyawan-karyawan lain, segera saja menjadi sasaran bulanan.
Tentu saja usaha untuk memberhentikan perundungan ini dilakukan... tetapi saat dibela atau ditanya, si AE hanya tertawa... tawa yang dipaksakan... sambil mengatakan kalau ia tidak merasa diledeki, justru merasa diperhatikan.
Bulanan yang dilemparkan kepadanya pun makin jadi.
Dan terakhir si AE tertangkap menangis, saat menunggu bus pulang di tengah malam, di bawah atap halte.
Waktu itu aku mendorongnya untuk menanyakan kabar si AE. Aku terus mendesaknya dan mengatakan bahwa secuil perhatian pun pasti akan membuat si AE senang.
Tetapi, Ia tidak yakin.
Akhirnya aku mengirim sejumlah uang ke akun banknya. Memaksanya membelikan makanan yang paling disukai si AE.
Malamnya Ia pulang sambil mengatakan bahwa kini seisi kantor mengira Ia dan si AE adalah sepasang kekasih. Aku memeluknya bangga setelah memukul ringan bahunya.
Kejadian itu bahkan belum sampai dua minggu yang lalu.
"Chat dia sekarang. Bilang kalau dia butuh apa-apa, lu bisa nyoba bantu semampu lu. Jangan lupa bilang semoga dia bisa cepet dapet kantor yang lebih baik,"
Ia menggigit bibir, lalu mengangguk. Jarinya pun sibuk mengetuk-ngetuk layar hape.
Suara hujan yang ribut perlahan menjadi tenang.
Langit yang memang semula sudah gelap, mengizinkan sedikit sinar matahari mengintip, sebelum membiarkan sisi bumi bagian kami berguling ke lawan arah.
Hujan pun berubah menjadi tak lebih dari tetesan air yang tersisa di pucuk pohon atau ujung atap bangunan.
Dan entah kenapa, tiba-tiba membuat kami memutuskan melakukan kegiatan lain.
Aku membuka lemari makanan, berharap ada cemilan lain karena ternyata keripik tadi sudah Ia habiskan. Sementara Ia masuk kamar, dan keluar dengan pakaian baru plus tas yang biasa Ia bawa saat pergi.
"Gua pergi dulu, ya. Gua bawa kunci, kok," ujarnya sambil berlalu di depan aku yang tengah menarik bungkus coklat. Aku hanya bisa mengangguk di tengah kerepotanku.
Saat aku berjalan ke arah ruang tamu sambil menggenggam coklat yang akhirnya dapat aku keluarkan, Ia ternyata tengah menungguku di depan pintu.
"Yok, gua berangkat, ya!" serunya sambil melambaikan tangan.
Aku melambaikan tangan balik. Menyaksikan sampai Ia menutup pintu.
Kurobek bungkus cokelat di tanganku. Dan kusadari sesuatu.
"Tuhkan, kita lebih banyak mengobrol di waktu hujan,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita, Cerita, Cerita
General FictionBanyak sekali cerita soal bagaimana aku dan dia melalui hari-hari. Kebanyakan secara tidak biasa, setidaknya begitulah menurut kami. Karena suatu kejadian kecil terkadang terkesan remeh bagi satu orang, tetapi dapat memengaruhi seluruh hidup orang l...