“Kau keterlaluan! Kenapa kau lakukan itu?” gadis kecil berumur sepuluh tahun itu nyaris histeris. Wajahnya sudah penuh airmata dan merah padam. “Lepaskan dia, jahat!”
Remaja tanggung di depannya tertawa-tawa mengejek. Ia berjongkok di depan seekor kucing yang tampak sedang sekarat “Kenapa? Dia memang layak mati. Kau lihat tidak, kakinya sudah patah sejak kemarin karena jatuh ke selokan. Mahluk ini lebih layak untuk mati daripada menyusahkan.”
Gadis kecil itu mendorong tubuh si remaja laki-laki dan mendekati kucing yang nafasnya tinggal satu-satu. Bagian perut binatang itu menganga dan sebagian isi perutnya keluar, akibat sebuah tusukan sebuah pisau. Mata binatang berbulu abu-abu itu tertutup dan kakinya melejang-lejang ketika nyawa tercabut dari tubuhnya. Tangis meledak dari si gadis kecil dan ia mengambil seraup tanah, dilemparkannya sekuat tenaga pada remaja laki-laki yang tengah menatapnya sambil terkekeh-kekeh.
Remaja laki-laki itu mengerang ketika butiran pasir membuat wajahnya terasa pedas dan beberapa butir masuk mengenai mata. Gadis kecil itu berjalan cepat melewatinya dan masih dengan mata terpicing, ia menangkap lengan gadis kecil itu. “Kau, anak kecil sok tahu! Kau akan mendapat pelajaran dariku.”
Remaja laki-laki itu menarik tangan gadis kecil yang mencoba memberontak untuk membebaskan diri. Tanpa daya ia terseret-seret di belakang remaja laki-laki itu, tersandung dan pakaiannya tersangkut di sana-sini. Airmatanya semakin deras seiring kengerian yang dirasa, ketika remaja laki-laki itu menyeretnya mendekati sebuah puing-puing bekas bangunan bobrok.
Bangunan itu adalah bekas rumah seorang paranormal yang di masa lalunya dituduh oleh penduduk di desa-desa sekitar, telah menyebarkan santet. Sang paranormal kemudian diusir dari desa dan rumahnya dibakar, hingga hanya tersisa sebuah kamar di bagian belakang. Konon katanya, kamar itu satu-satunya yang tidak tersentuh api ketika rumah terbakar. Banyak yang percaya bahwa kamar itu adalah tempat sang paranormal melakukan ritual. Penduduk desa akhirnya membiarkan kamar itu tetap berdiri.
Remaja laki-laki itu menendang pintu kamar yang mulai rusak dan hancur. Bau busuk, apak, dan pesing menyengat penciuman. Ia menarik si gadis kecil dan mendorongnya ke sudut kamar, tersungkur di atas lantai yang kotor dan bau. Serakan sampah, bangkai tikus dan binatang kecil lainnya, memenuhi hampir seluruh ruangan berukuran 3x2 meter itu. Bagian atasnya terbuka, demikian juga tembok yang tadinya adalah jendela. Dinding-dindingnya bolong di sana-sini.
Gadis kecil itu menjerit-jerit ketakutan. “Tolong! Tolong! Keluarkan aku, tolong! “
Remaja laki-laki itu mengambil sehelai saputangan dan tali rafia dari saku celana pendeknya kemudian bergerak cepat membungkam mulut, mengikat tangan, dan kaki gadis kecil itu. Ia tersenyum kejam melihat airmata dan wajah pucat gadis kecil di depannya.
Sambil bersiul-siul, remaja laki-laki itu menendangi sampah dari berbagai sudut kamar. Ia menumpuk sampah yang berserakan di lantai di dekat si gadis kecil, meraup beberapa kali, dan menaburkan semua sampah itu di atas kepala gadis kecil yang sudah berhenti menangis. Sekarang ia terbelalak dengan apa yang sedang dilakukan oleh remaja laki-laki itu. Ia menggumamkan rintihan dari balik saputangan yang menyumpal mulutnya, ketika remaja laki-laki itu memasukkan bangkai serangga—kecoak, kumbang tanduk, jangkrik dan dua ekor anak tikus—ke dalam gaunnya.
Tubuh gadis kecil itu sepenuhnya kotor. Gaun putihnya sobek di sana sini, kotor dan penuh noda. Begitu juga wajah, tangan dan kakinya. Sepatu kets putihnya sudah sewarna lumpur. Ia membelalak ngeri ketika merasakan kulitnya terasa gatal dan seperti terbakar.
“Setelah kau keluar dari sini—itupun kalau bisa—, tubuhmu akan kotor dan bau untuk selamanya. Aku yakin semua kuman, bakteri dan penyakit akan membuatmu tercemar seumur hidup. Aku mengutukmu menjadi orang paling kotor sedunia. Itu akibatnya kalau kau suka ikut campur urusan orang lain!”Si gadis kecil menggigil ketika remaja laki-laki itu menumpahkan air berwarna kuning dan berbau pesing, dari dalam botol yang ditemukannya di sudut kamar, ke atas kepalanya.
Jeritannya tertelan kabut hitam yang menguasai kesadarannya.
%%%%%
YOU ARE READING
Wrong Way to Love (Sudah Diterbitkan Oleh AE Publishing)
Mystery / Thriller-Tidak semua orang tahu cara mencintai yang benar-