Malam Pertama

20 5 0
                                    

"Acha, nanti kamar kalian di situ, ya," ucap Ibu sambil mengerling pada anak semata wayangnya. Apa-apaan tatapan itu? Kalau bukan karena Ibu, ogah aku nikah sama si Kanjeng! gumam Acha. Enggak dipungkiri sih, memang wajahnya sangat rupawan, sedap dipandang. Pertama kali bertemu, hati Acha sempat goyah karena perlakuannya yang sangat lembut, tutur katanya baik, senyumannya manis dan khas sekali.

Awalnya gadis berkepala dua dua ini menolak mentah-mentah permintaan Ibu yang menginginkan anak gadisnya segera menikah, tetapi sehari setelahnya, Ibu jatuh sakit. "Kalau Ibu keburu enggak ada, kamu jangan menyesal, ya," ucapnya kala itu. Meski Acha sedikit keras kepala, mendengar Ibu berkata seperti itu hatinya jadi ciut. Takut sekali membayangkan hal itu terjadi. Belum lagi kompor dari Bang Farhan, dia selalu membisikkan, "Serem, nanti jadi anak durhaka."

Semetara Ayah, hanya terkekeh dan menyerahkan keputusannya kepada Acha. Tentu saja, sebelumnya sudah ceramah. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya pernikahan mereka benar-benar terjadi. Namun, bukan tanpa tujuan, biarkan saja mereka merasa lega atas pernikahan kami yang sudah terlaksana, tapi lihat saja nanti. Rencana yang sudah kubuat tidak akan gagal! ucap Acha dalam hati.

"Sayang, enggak masuk? Kok berdiri aja di situ?" Acha terperanjat ketika sebuah tangan yang begitu halus menyentuh pundak. Seketika tubuhnya merinding. Laki-laki itu, tersenyum padanya. Apa-apaan dengan senyuman itu! Apa-apaan dia memanggil sayang? Lancang sekali!

Acha menatap dengan jijik. "Bukan urusan lo. Enggak usah panggil gue sayang," ucapnya sengaja ketus. Berharap malam pertama mereka satu ruangan, dia akan ilfeel.

"Enggak apa, Mas mau kita mulai membiasakan diri dengan panggilan sayang. Biar cinta terus setiap harinya. Hehe." Gadis itu pikir, Kanjeng akan marah. Setidaknya, minimal raut wajahnya berubah menjadi kecewa, tetapi nyatanya dia biasa saja. Masih tersenyum dan menatap istrinya begitu lembut, karena gugup Acha menabrak tubuhnya dan langsung memasuki kamar.

Suasana di dalam kamar terasa canggung, setelah membersihkan make up dan berganti pakaian, Acha berusaha terlihat biasa saja dan langsung menjatuhkan diri di tempat tidur. Tangannya sibuk mencari ponsel yang tadi di sembunyikan di bawah bantal. Setelah menemukannya, Acha menyibukan diri dengan menonton drama Korea. Terlihat Kanjeng keluar kamar.

Setelah dia keluar, Acha langsung terduduk dengan jantung yang terus berdegup cepat. Acha sangat gugup dan ketakutan. Jilbabnya masih terpasang dengan rapi, tak berniat untuk melepaskannya walau sudah sah dengan Kanjeng.

Di tengah rasa gugup, terdengar suara derap langkah kaki. Kanjeng sepertinya datang! Buru-buru Acha merebahkan diri lagi. "Sayang, Mas bawa lemon hangat, pakai madu. Supaya tidurnya pulas nanti." Sedikit mengintip, ia menaruh nampan berisi air lemon itu, tepat di sampingnya.

Laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya menunduk dan menghadap ke arahnya Tatapan mereka bertemu dan terkunci selama beberapa detik, detak jantung Acha sudah tak terkontrol lagi. Ya Allah, aku gugup sekali. "Diminum dulu, yuk? Seharian ini kan sudah capek terima tamu. Manis kok," ucapnya sambil membelai pipi.

Refleks, Acha menangkisnya. "Jangan lancang!"

"Maaf ... ya sudah, kamu minum dulu ya. Apa Mas harus keluar biar kamu mau minum ini? Kamu malu ya?" Acha tidak menjawab, dan langsung menyambar air lemon hangat itu. "Pinter banget istri Mas," ujarnya sambil tertawa kecil. Hampir saja gadis itu mencacinya, tetapi entah kenapa ikut terhanyut dalam tawa Kanjeng.

Sepertinya, dia memang orang yang sabar dan sederhana.

***

"Jangan deket-deket gue! Apalagi nyentuh. Awas aja kalo berani!" ucapnya tadi malam. Kanjeng hanya tersenyum dan membatasi mereka dengan 2 guling. Bukankah harusnya Kanjeng marah? Acha tidak mengerti bagaimana jalan pikirannya. Suaminya itu benar-benar tidak mendekat, apalagi menyentuh, dia sangat patuh dengan ucapan Acha. Hanya sekali dia menyentuh bahu ketika hendak membangunkan untuk salat subuh.

Selepas salat, mata Acha terus terjaga. Padahal biasanya langsung tertidur pulas. Ia meraih ponsel, hendak mengunduh drama yang baru saja tayang kemarin. Terdengar suara indah seseorang yang tengah melantunkan ayat suci Al Quran. Itu suara Kanjeng.

Menurut Ibu, Kanjeng adalah laki-laki baik dan salih. Keluarganya pun keluarga baik-baik. Kanjeng memiliki satu orang adik perempuan, dan mamanya yang katanya adalah seorang single parent. Kabarnya, papanya sudah meninggal sejak dia masih kecil. Ah iya, Acha dan Kanjeng terpaut usia 6 tahun. Kata Ibu, sangat cocok dengannya yang butuh seseorang untuk membimbingnya dengan sabar.

Terdengar suara ketukan, sepertinya itu Ibu. Kanjeng yang tengah mengaji langsung berhenti dan membukakan pintu, ternyata memang benar Ibu. "Eh menantuku lagi ngaji, ya. Kok Acha nggak ikut sih?" What? Menantuku? Jijik sekali mendengarnya! Ibu ... tolong jangan alay. Huaaaa.

"Masih kecapean kayaknya, Bu. Ada apa, Bu? Ada yang bisa Kanjeng bantu?" tanyanya dengan sopan.

Ibu melirik sekilas pada Acha. "Ah enggak, sana masuk lagi. Nanti Ibu panggil kalau mau sarapan ya!" ujarnya yang langsung mendorong Kanjeng masuk dan menutup pintu kamar. Acha menggerutu, merasa malu dengan tingkah Ibu. Enggak biasanya Ibu seperti itu. Kanjeng tertawa sambil meliriknya.

"Mau jalan-jalan ke luar?" tanyanya dengan lembut. Acha membuang muka tanpa menjawab. Lagi-lagi dia hanya tersenyum. "Ya sudah, kamu istirahat aja."

Lelaki itu ke luar kamar, sedangkan Acha kembali rebahan sambil memainkan ponsel. Apa enaknya menikah? Kehidupan sebelum dan setelah menikah sama saja, tidak ada bedanya. Ah, bedanya hanya sudah ada teman yang menemani tidur. Itu saja, kan? Kalau begitu, bukannya lebih enak jomlo? Sudah menikah akan repot urus ini itu. Apalagi kalau sudah punya anak. Acha bergidig ngeri, membayangkan mempunyai anak bersama si Kanjeng. Hiiii!

Gadis itu tersentak mendengar suara pintu yang di buka dengan kencang. "Ih, bikin kaget aja!" omelnya, ternyata itu Farhan. Terlihat wajahnya yang memerah, seperti menahan emosi. Dia menarik tangan Acha.

"Ngapain sih lo, Bang! Udah mah enggak sopan main masuk aja, sekarang malah narik-narik gue! Lepasin!" ucapnya sambil memberontak.

Hidung Farhan kembang kempis, lalu dia menoyor kepala adik satu-satunya itu. "Heh, Maemunah!"

"Acha, Bang! Acha! Eggak usah pake noyor bisa kali!"

"Ih, kesel banget gue punya adek macam lo. Lo ngapain diem aja di dalem kamar? Hah? Lo kagak malu apa laki lo lagi di dapur noh, bantuin Ibu. Enak aja lo malah rebahan sambil main hp di kamar! Sini kagak lo ikut gue!" Farhan menjewer telinga Acha, dan menggiringnya keluar kamar.

Untung saja hanya ada mereka, karena orangtua Kanjeng sudah pulang semalam. Kalau tidak, malu lah Acha diperlakukan seperti itu.

Acha mendengkus kesal. "Lah, gue enggak nyuruh! Lagian biarin aja dia bantuin Ibu, biar berkah!"

"Mata lo berkah! Dosa lo ya kagak ngelayanin suami. Sini pala lo gue pites!" Langkahnya terhenti seketika. Rasa sakit akibat jeweran Farhan sampai tak terasa. Tiba-tiba saja pikirannya melayang setelah mendengar kata-kata Farhan.

'Dosa lo ya kagak ngelayanin suami' kata-kata itu terus terngiang. Apa maksud Farhan?

Jangan-jangan, si Kanjeng sudah cerita sama Abang soal semalam? Waduh, gawat! Aku harus minta penjelasan padanya!

Bersambung...

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mas KanjengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang