Cinta, salahku yang terlalu cepat percaya pada perasaanku. Semua tentangnya ku pikir akan menjadi kenyataan yang bahagia, nyatanya hanyalah kesemuan sementara. Salahku yang mudah jatuh cinta, tanpa sadar semua akan berakhir luka. Namun, aku tak pernah menyesalinya, walaupun semua telah patah dan hancur menjadi serpihan yang tak berarti. Terasa pilu dan terluka sangat dalam. Aku butuh waktu untuk memulihkan hati ini. Dan, melepasmu menjauh dariku. Karena, dari awal ini memang perasaanku sendiri, dan mungkin memang hanya aku yang menikmati.
Ingat, ada satu hal yang ingin ku sampaikan sebelum engkau pergi. Cinta seringkali datang terlambat. Namun, saat engkau mencoba untuk kembali, mungkin hatiku sudah tertutup rapat. Atau, mungkin juga telah ku temukan yang lain sebagai penawarnya. Jangan tanyakan, mengapa aku menutup hati untuk mu ? Sebab, untuk menyembuhkan luka ini pun butuh waktu dan ku lakukan sendiri. Pergilah sejauh mungkin, jangan kau ingat untuk kembali pulang. Sebab, saat kau kembali, kau hanya akan menemukan kesepian dan bertemankan setumpuk luka.
Sebuah pertemuan selalu memiliki akhir, katanya. Pertemuan yang berakhir menyedihkan selalu menjadi penyesalan. Dan aku, sangat mensyukuri itu. Sebab, pertemuanlah yang aku sesali. Pertemuan yang ku jalin dengannya berakhir di pelaminan. Namun, aku bukanlah sang mempelai wanitanya, melainkan hanya kepulan asap yang lenyap begitu hujan turun.
Satu tahun yang lalu
"Bang!" Pria yang ku sapa tak menoleh. Ujung sepatu pantofel hitamnya mengetuk-ngetuk tanah berumput di bawahnya. Aku mengernyit sebelum ku sadari ponsel layar sentuh yang ada dalam genggamannya lebih menyita perhatiannya.
"Pantes aja nggak fokus. Itu hp tempelin aja sekalian ke muka!" Aku menggerutu sambil tetap memperhatikan jari-jari lincahnya menari di atas ponsel.
5 menit berlalu, dan aku yakin obrolan dalam pesan yang sedang ia ketik telah usai. Karena, ia lalu mengalihkan perhatiannya kepadaku. Ekspresi terkejut nya yang datar membuatku tertawa. Dia pria dingin yang pernah aku kenal, terkejut saja wajahnya datar tanpa ekspresi. Tersenyum pun hampir tak terlihat.
"Kapan datang? Kok nggak ada nyapa?" Tanyanya sambil memasukkan ponsel berwarna silver itu ke dalam saku jasnya. Aku menatapnya dengan sedikit menaikkan satu ujung bibirku.
"Manalah abang fokus. Hp terus yang diperhatikan." Jawabku yang hanya di jawab dengan senyuman tipisnya.
Obrolan kami terputus saat suara dari ponsel bermerk apel tergigit itu berbunyi. Ia berdiri lalu berjalan agak menjauh dari tempat aku duduk. Entah apa yang ia bicarakan pada seseorang dari sebrang telepon sana, tersirat raut bingung pada wajah tampannya.
Usai berbicara panjang lebar, pria berlesung pipi itu kembali menghampiriku. Masih dengan raut wajah yang sama, bingung. Manik matanya yang berwarna cokelat bahkan mengisyaratkan rautnya saat ini.
"Ada apa, Bang?" Tanyaku penasaran sambil melirik ponselnya. Berharap dapat melihat siapa yang habis membuatnya kebingungan. Namun, ia segera memasukkan nya ke dalam saku jasnya kembali.
"Kamu sayang abang, Dek?" Pria yang sudah menjalin hubungan tiga tahun denganku ini malah balik bertanya. Dan, pertanyaan macam apa itu? Kalau aku tidak menyayanginya, untuk apa bersusah payah menjalin hubungan dengannya.
"Jelas lah adek sayang banget sama abang. Kenapa tanya kaya gitu? Ada apa?" Tanyaku penasaran. Tatapannya nampak gusar, ia mengusap kasar wajah berkharismanya itu. Dan itu membuatku semakin bingung. Andai aku memiliki indera keenam, sudah ku jelajahi pikirannya itu.
"Boleh abang tanya satu hal?" Tanyanya penuh keseriusan. Ah! Pria ini, selalu saja membuatku panas dingin dengan segala perbuatan dan perkataan manis yang akan ia ungkapkan. Dan semoga saja kali ini dia menanyakan hal yang berbau manis juga, semoga saja.