01. Matahari

6.6K 598 649
                                    

"Apa? Hancur? Bahkan sebelum gue ketemu lo, hidup gue udah hancur! It's okay, gue udah terbiasa dengan luka!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa? Hancur? Bahkan sebelum gue ketemu lo, hidup gue udah hancur! It's okay, gue udah terbiasa dengan luka!"

-Lee Haechan-

🌻

Jarum jam telah merangkak naik menuju pertengahan malam yang paling gelap, tapi mataku tidak juga mau terlelap. Padahal, sudah begitu banyak obat tidur yang kulahap.

Tinggal beberapa pil terakhir. Kuharap aku benar-benar akan terlelap setelah ini. Atau mungkin terlelap selamanya?

"Woy!!! Gila lo, dek?"

Tubuhku sudah lemas. Tanganku tak mampu menahan segenggam pil yang kini berceceran karena ulah seseorang yang sok peduli di depan ku ini.

"Ngapain lo pulang, Ka?" mataku rasanya sudah mulai merasakan ngantuk. Wajah pria di depanku mulai buram.

"Dek, ngapain lo minum obat tidur sebanyak ini? Lo mau mati?"

"Sejak kapan lo peduli sama gue? Lo gak jauh beda aja kayak mama sama papa yang selalu mementingkan pekerjaan!"

"Dek, terus lo makan mau sama apa kalau kita gak kerja?"

"Makan, makan, makan! Uang, uang, uang! Dari dulu gak pernah berubah! Kalian pikir hanya dengan uang gue bisa bahagia!"

Aku membanting pintu kamarku. Sudah cukup aku menderita seorang diri, ditambah lagi aku dipaksa untuk mengerti urusan pribadi mereka yang tak jauh dari uang?

🌻🌻🌻

"Dek, buka pintunya, dek! Lo enggak mau berangkat sekolah?"

Aku mengibaskan selimut yang menggulung tubuhku semalaman. Rasa kantukku gara-gara pil tidur semalam sepertinya masih bekerja, mataku masih enggan terbuka.

"Dohyuna, ayok dek makan dulu, pasti dari semalam kamu belum makan, kan?"

Kulihat sekilas jam dinding hitam yang setia menemani hari-hari suramku. Masih pukul 7, tapi laki-laki itu sudah mengetuk pintu kamarku sekeras ini. Dan apa tadi katanya, menyuruh ku sekolah? Apa dia dia tidak tahu betapa menyeramkannya sekolah untuk anak seorang buronan sepertiku ini?

"Jangan peduli lagi sama gue! Gue bukan adek lo lagi! Urusin aja tuh pekerjaan lo!" teriakku. Aku kembali menggulung tubuhku dengan selimut tebal.

Sudah 5 menit. Akhirnya suara ketukan pintu itu tak lagi terdengar. Sepertinya dia benar-benar pergi. Baguslah, pekerjaan memang segalanya bagi keluargaku.

Tok! Tok! Tok!

"Dohyun! Buka pintunya!"

Aku mengibaskan selimutku. Rasanya itu bukan suara kakak ku.

"Hyuna! Ini gue, Haechan!"

Ah, benar saja. Itu Haechan. Syukurlah, dia selalu ada disaat aku mencapai titik terendah ini. Untuk setiap detik yang aku habiskan bersamanya selama 8 tahun lebih tahun ini, aku sangat bersyukur.

Senja TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang