NAIF

7 2 0
                                    


Yeura terbangun dari tidurnya. Pagi ini ia merasa tak enak badan. Punggung dan pipinya terasa nyeri, juga kepalanya pusing. Yeura menyadari apa yang menyebabkannya seperti itu.

Malam itu, Yoga, laki-laki yang sudah dipacarinya selama satu tahun, seperti biasa, datang menjemputnya untuk makan.

Namun ketika Yeura masih bersiap, Yoga tiba-tiba masuk ke kamarnya dan mengata-ngatai Yeura karena sudah terlalu lama menunggu. Padahal menurut Yeura, Yoga baru menunggu kurang dari 10 menit.

Tak hanya kekerasan verbal yang dialami Yeura. Yoga bahkan sudah berani menendang punggung Yeura, menampar, dan menjambaknya.

Yeura menangis. Ia berusaha melawan. Namun, bukannya menghentikan siksaannya, Yoga semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya, Yeura harus mengalah lagi.

Kejadian seperti ini sudah berlangsung satu bulan lamanya. Yeura bahkan tidak berani pulang jika wajahnya memar atau lebam. Maklum, Yeura adalah seorang mahasiswi perantauan. Biasanya, setiap satu bulan sekali, Yeura pulang mengunjungi orang tuanya.

Drrrttt drrrtt

Handphone Yeura berbunyi. "Halo," jawabnya.

"Yeu, kamu dimana?" tanya Yoga.

"Masih dikos," jawab Yeura tak bersemangat.

"Kenapa suaramu parau?"

"Gak papa. Aku agak nggak enak badan. Semalem demam," jawab Yeura.

"Ayo aku antar ke dokter. Tapi kamu bayar sendiri yaa,"

"Nggak usah, aku tidur aja. Udah kamu nggak usah kesini, baaiiii,"

Yeura menutup teleponnya. Ia sudah jengah dengan sikap Yoga yang tak kunjung berubah. Padahal di awal-awal pacaran, Yoga mampu memperlakukannya seperti seorang wanita seutuhnya.

Bahkan karena perlakuannya itu, Yeura tak kuasa menolak permintaan Yoga untuk menyerahkan keperawanannya.

Namun bukannya makin sayang, sejak keperawanannya diambil, Yoga seperti orang yang berbeda. Kasar dan ringan tangan.

Bahkan Yoga tak sungkan memeras Yeura untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Yeura menyesal sudah salah memilih seseorang untuk menyerahkan keperawanannya. Tapi belum ada kata terlambat, masih ada kesempatan kedua.

Ting tong

Suara bel rumah kos Yeura berbunyi. Mbok Darsi, pembantu rumah tangga di kos itu membukakan pintu.

"Cari siapa den?" tanya Mbok Darsi.

"Yeuranya ada Mbok?"

"Ada den, mungkin istirahat. Dari tadi nggak keluar. Monggo den," sahut Mbok Darmi mempersilakan Yoga masuk.

Tok tok tok

"Yeuraaaaa...Yeuraaaaa," teriak Yoga sambil mengetuk pintu kamar Yeura.

Yeura kembali terbangun. "Sh*t, dia dateng," ucap Yeura dalam hatinya dengan perasaan jengkel.

Yeura membukakan pintu kamarnya. Dilihatnya Yoga tersenyum manis padanya. Tak ada raut wajah bersalah, bahkan penyesalan. Mungkin ia amnesia atas apa yang sudah diperbuatnya kemarin.

"Kamu kenapa kesini Yog?" tanya Yeura.

"Kok nanya sih, namanya aja pacarnya sakit, yaa harus nengokin dong,"

Yeura ingin sekali mengusirnya. Namun sekali lagi, ia tak kuasa menolak kedatangan Yoga.

"Yeu, ini kubawain sekaleng bir sama nasi bebek, makan gih," ucapnya.

Yeura, yang saat itu memang lapar, tetapi malas makan, akhirnya memaksakan diri untuk makan. Namun, tak berapa lama, kepalanya seperti berputar, seluruh tubuhnya panas, matanya berkunang-kunang, ada ruam merah di badannya, dan apa yang dimakannya tadi ingin segera dimuntahkannya.

Sekuat tenaga Yeura memaksakan kakinya untuk berdiri. Ia melihat sekilas, Yoga bahkan hanya terdiam melihatnya tersiksa. Persis seorang psikopat.

"Tidak .... Aku tak boleh mati .... Tak boleh ...."

Bruk

Yeura terjatuh di depan Yoga. Namun Yoga hanya memandanginya. Ia tersenyum licik, lalu pergi dan membiarkan Yeura tergeletak tak sadarkan diri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NAIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang