"Dia putraku!"
Bentakan itu tak menyurutkan apa pun yang terlanjur berkobar. Sementara suasana yang panas, perasaan yang tercabik serta derita yang memenuhi setiap sudut ruangan, tidak akan membantu apa pun.
Dengan sesosok rapuh yang meringkuk, memeluk kedua lututnya dengan lengan gemetar.
"Lupakan dia. Ini peringatan terakhir dariku. Jangan dekati dia. Dia anakku, dia putraku! Bukan putramu!"
Isakan itu meluncur. Saat tangannya berusaha membekap, menekan kuat-kuat perasaan takut dan dilema yang besar. Tubuhnya menggigil, tidak bisa melawan arus yang terlalu deras.
Bantingan gelas berhasil membuatnya kembali bungkam. Dirundung perasaan cemas berlebih yang menyakitkan. Dihadapkan perasaan sakit yang tak berujung. Dan saat menunduk, mata kelamnya menatap sepatu manis hadiah sang ibu satu tahun lalu.
"Kalau kau terus seperti ini," ancaman itu bergaung, membuat telinganya berdenging. "—aku bersumpah akan merebutnya darimu. Demi Tuhan, dia tidak akan besar di tangan psikopat sepertimu."
"Delapan tahun, dan dia baik-baik saja tanpamu. Kau sadar itu? Berbagai gosip beredar luas. Kau yang sering kali meniduri para perempuan, bertubuh langsing, yang bisa kau bayar sesukamu. Apa kau pantas melabeli dirimu ayah yang baik?" Satu bentakan berembus keras. "Kau perlu kaca! Berkaca pada dirimu sendiri!"
Sebelum bantingan lain mampir, akhirnya dengan segenap tekad dia menampakkan diri. Meremas tangannya kuat-kuat. Mencoba memakukan tatapan yang basah pada dua orang dewasa yang saling menghadap satu sama lain.
"Mama,"
"Papa."
Suaranya lirih, hampir seperti bisikan. Yang membuat keduanya berdesir, beralih untuk menatap si kecil yang gemetar. Mencoba untuk tetap tegar meski tahu rasanya tak akan mudah.
"Tolong, jangan bertengkar."
Kalimat itu berakhir bebas. Yang tertahan di tenggorokan, tak mampu untuk diucapkan. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, menunduk untuk menyembunyikan tangisannya.
"Aku minta maaf."
"Salahkan aku."
Keduanya membeku. Dua manusia dewasa yang terbutakan oleh ego dan ambisi. Dunia dan isinya mereka dapatkan.
Terkecuali senyum tulus sang anak yang telah lama memendam duka.
Delapan tahun, dan rasanya terlalu lama.
Haruno Sakura berpikir, delapan tahun kehidupannya membesarkan sang anak dengan uang dan segalanya adalah jalan terbaik. Namun nyatanya, dia menemukan pintu kegagalan.
Uchiha Sasuke berpikir, delapan tahun kehidupannya dihabiskan untuk membalaskan dendam yang berhasil membuat kehidupan orangtuanya berantakan, mulai menemukan titik kemenangannya. Nyatanya, semesta memberikan kejutan tak terduga.
Delapan tahun ...
Dan rasanya terlalu lama.
.
.
.
tbc.
.
.
.
note:
Yep, ini draft lama yang hampir selesai. Dikittt lagi seharusnya beres tapi saya kehilangan feel. Haha.
Oh, iya. Saya resmi keluar dari Dreame dan kontrak selesai. Welcome to Wattpad, again!