shanin sakayla

8 0 0
                                    

"Dalam hangat nya malam, rembulan ikut tersenyum. Kepadaku yang kini juga sedang menatapnya. Aku tahu perihal rasa yang tersimpan akan baik-baik saja selama senyum kepahitan masih bisa di suguhkan pada orang-orang tercinta, agar tidak ada seorangpun yang tahu bahwa, diriku banyak menyimpan lukaku sendiri.
Hanya orang yang benar-benar peduli, bukan dia yang singgah lalu pergi. Tuhan takdir kan seseorang datang untuk kemudian meninggalkan, begitulah seterusnya tidak ada yang abadi. Seiring dengan usia yang bertambah begitu pula hidup yang terasa semakin berat, ada beban yang harus di pukul sendiri. Terkadang, bantuan seseorang hanya akan menambah masalah bukan menyelesaikan nya dengan baik"

"Nala, masih di situ?, ayo tidur!"

"Mengistirahatkan tubuhku itu perlu, agar luka-luka bisa membaik dengan sendirinya. Aku tidak tahu kapan, dan bagaimana ini akan berakhir. Tuhan tahu aku orang yang kuat. Begitupun aku juga percaya bahwa hati yang baik akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya".

Aku beranjak dari kursi yang ku duduki sedari tadi, dengan membaca sebuah buku yang membuat ku jadi terbawa perasaan kata-katanya begitu menyentuh, bahkan aku saja tidak sadar dengan ucapan yang menyuruh ku untuk tidur.

Shanin sakayla, dia adalah sahabatku sedari SMA. Wanita itu baik dan pengertian, bukan hanya sebagai sahabat bahkan ia juga ku anggap sebagai keluarga. Aku begitu dekat dengannya, bahkan tidak ada rahasia yang tercipta di antara kami berdua. Wanita berkulit kuning Langsat dengan bola mata bak seperti kelereng, bisa memikat lelaki manapun yang memandangnya, tak jarang Shanin mempunyai banyak teman pria, tidak seperti ku. Terkadang Shanin juga menceritakan kisah cintanya padaku, setiap kali ia merasakan jatuh cinta bahkan saat sedang patah hati. Itu sering terjadi, karena Shanin seringkali salah dalam memberi hati.

Aku dan Shanin juga berbeda, Shanin adalah anak dari seorang pengusaha sedangkan aku, tidak! Orang tuaku sudah tiada sejak aku masih berusia 9 tahun. Tuhan mengambil keduanya dariku saat kedua orang tuaku sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, aku sempat tak sadarkan diri selama dua hari setelah mendengar kabar dari pamanku.

Aku masih ingat untuk terakhir kalinya, senyum yang merekah dari ayah dan ibu. Tepat di halaman depan ku lambaikan tangan pada keduanya, seiring mobil hitam itu berlalu begitupun kedua orang tuaku pergi untuk selamanya dari hidupku. Entah mengapa saat hari itu, ibu juga memberikan kain berwarna merah, seperti pertanda bahwa ia akan pergi dan tidak akan pernah kembali untuk memeluk putri kecilnya, sampai sekarang kain yang diberikan ibu masih ku simpan dengan rapi, saat kerinduan menjelma dihati hanya kain yang diberikan ibulah sebagai pengobat rindu pada keduanya.

Tak sadar bulir bening menetes dari kelopaknya, aku rindu pelukan hangat ibu dan kekarnya bahu ayah saat menggendong ku bagaikan pesawat di udara, aku tak ingin menjadi dewasa, karena harus ku lalui tanpa sosok penyemangat dalam hidupku.

"Ibu, ayah, aku ingin pulang bersama kalian, jemput aku. Hiks... hiks ...."

Aku tak sadar dengan apa yang ku katakan, kalimat itu terlontar begitu saja, sesaat Shanin bangkit dari tidurnya yang pulas. Sepertinya Ia terkejut dengan suara tangisku barusan.

"Nala, kenapa menangis? Ada apa, cerita ih"

Shanin menghampiri ku yang duduk di pojok ranjang, seketika ku peluk wanita itu, tangisku mengalir deras hingga membasahi baju tidur yang ia kenakan. Aku tak bisa membendung kerinduanku, aku benar-benar sangat merindukan mereka.

"Aku rindu ayah dan ibu, Nin." Tuturku yang masih sedikit terisak.

Shanin menepuk-nepuk punggung ku pelan, menyalurkan semangat yang ia punya, sebagai seorang sahabat Shanin lah satu-satunya yang ku punya.

Malam semakin larut, bersama Isak tangis dan kerinduanku terdalam, ku istirahatkan tubuhku yang lelah dalam pelukan Shanin.

Next? :)

Mohon krisarnya, saya pendatang hehe

Garisan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang