Prolog

15 5 8
                                    

"Janji adalah sesuatu yang harus ditepati. Namun, kenyataan ini membuatku tidak yakin, apakah bisa menepati janjiku itu?"

_Tanaka_

________________________

Kegelapan terlihat menyelimuti malam yang kelam. Tidak ada cahaya rembulan, tidak ada bintang, tidak ada canda tawa atau perbincangan hangat. Yang terdengar hanya suara gemuruh badai, cahaya menyeramkan dari kilatan petir, tangisan dan raungan orang-orang yang ada di dalam ruang luas berlapis marmer putih itu.

Marmer putih yang berubah menjadi merah darah.

Banyak mayat tergeletak di lantai ruangan mewah tersebut. Darah kental yang mengeluarkan bau anyir, tetapi semua hal seram itu tidak membuat seorang Tanaka gentar. Padahal seorang wanita dengan langkah tertatih sedang menuju kearahnya dengan sebilah pedang berlumuran darah. Pria itu tetap diam memangku seorang gadis yang sekarat di pangkuannya.

Air mata pria itu terus mengalir deras. Tanpa henti ia terus menyebut nama wanita itu. Seraya mengusap rambut wanita itu yang basah oleh darah.

"Tanaka ... maafkan aku...," ucap gadis itu lirih, tangan rapuhnya terangkat mengusap pipi Tanaka. Membuat darah yang sebelum itu melumuri tangannya berpindah ke wajah mulus seorang Tanaka.

Tanaka menghentikan tangan yang hendak terjatuh itu, agar tetap berada di pipinya. Pria itu terpejam, lantas mengecup singkat tangan mungil tersebut.

"Aku yang seharusnya meminta maaf, karena tidak bisa melindungimu. Maafkan aku, Yuri,"  lirih Tanaka.

Tanpa disadari, wanita dengan langkah lemah itu sudah ada di dekat Tanaka. Namun, pria itu masih diam. "Tanaka! Aku tidak akan membiarkan kalian bersama!" pekik wanita itu seraya mengayunkan pedangnya.

Tanaka menahan pedang tersebut dengan tangannya. Membuat beberapa jari tangan pria itu terputus. Merasa kesal karena telah diganggu. Tanaka meletakkan Yuri perlahan di lantai. Lantas ia berdiri dengan melepaskan pedang dari sarungnya. Pria itu menatap tajam, tetapi wanita dengan gejolak kesal yang sama terlihat semakin buruk.

"Aku tidak akan membiarkanmu hidup! Karena kau, sudah melukai Yuri!" teriak Tanaka penuh emosi, air matanya jatuh untuk kesekian kali, wajahnya merah padam karena kesal, tangan kirinya terlihat semakin erat memegang pedang. Pedih yang ada di tangan kanannya, tidak sebanding dengan luka di hati Tanaka.

"Sampai kapan kau akan buta? Aku mencintaimu! Aku mencintaimu! Kenapa kau tidak mengerti?!" pekik gadis itu.

"Violet, sejak awal kita berbeda, kau adalah musuhku, negara kita berbeda. Kau harus sadar itu. Kau sudah membunuh keluarga, dan kekasihku. Bagaimana bisa aku memaafkan orang seperti dirimu!" Tanaka langsung saja menghunuskan pedangnya ke tubuh Violet begitu juga dengan lawannya yang membalas serangan itu.

Keduanya mematung merasakan sakit yang sama. Tanaka lebih dulu mencabut pedang itu, disusul oleh Violet yang kini memegangi bagian perutnya yang terluka parah. Wanita itu terjatuh di lantai penuh darah. Darah yang ia tumpahkan hanya untuk mendapatkan cinta seseorang Tanaka. Seharusnya sejak awal saja ia sadar, jika cintanya tidak akan terbalas.

"Aku mencintaimu," lirih Violet di detik terakhirnya.

"Itu adalah obsesi ... bukan cinta," balas Tanaka yang juga sudah tergeletak di samping Yuri yang masih berusaha bertahan.

Tangan Tanaka terus berusaha meraih tangan Yuri. Di detik terakhir ini, ia sangat ingin menggenggam tangan lembut itu untuk terakhir kali, dan Tanaka berhasil. Ia berhasil meraih tangan itu.

Di dataran ini, siapa orang yang tidak jatuh hati pada seorang Tanaka, pria terhormat, pintar, dan hebat dalam seni bela diri. Tanaka yang banyak dicintai gadis di seluruh dunia, justeru jatuh hati pada seseorang gadis desa bernama Shao Yuri. Gadis sederhana itu sudah mengubah Tanaka, yang walau terkenal luar biasa, dia juga terkenal kejam, dingin, dan tidak berperasaan.

Tanaka berubah karena Yuri. Tidak, lebih tepatnya ia berubah karena cinta dan takdir.

Namun, kisah cinta mereka tidak sepenuhnya manis. Violet, seorang puteri negara yang berbeda, jatuh hati pada Tanaka yang sudah memiliki hubungan dengan Yuri. Violet sangat terobsesi dengan Tanaka.

Ia bahkan melakukan segala cara, membunuh banyak wanita agar tidak memiliki saingan, bahkan di saat pernikahan Tanaka hari ini, wanita itu masih saja berbuat sesuatu yang gila. Dia membantai semua tamu dengan para pasukannya. Membunuh Yuri yang sedang ada di altar dengan panah beracun. Membuat wanita dengan pakaian pernikahan itu meregang nyawa di hari bahagianya.

Perbuatan egois Violet, telah membuat banyak orang murka. Ia telah memisahkan kekasih kehendak langit. Membunuh banyak orang, hanya untuk menentang takdir yang ada. Wanita kejam itu, tidak pantas untuk hidup. Pantas jika ia juga mati bersama Tanaka dan Yuri.

'Aku Violet, tidak diterima oleh langit dan bumi karena kalian! Di kehidupan ini aku berhasil membuat kalian berpisah, maka selanjutnya akan tetap sama. Sampai kapan pun Tanaka dan Yuri tidak akan bersatu.'

'Yuri, maafkan aku tidak bisa melindungimu. Maafkan aku yang tidak berguna ini ... tapi di kehidupan selanjutnya, aku akan melindungimu dari apapun. Aku berjanji, jika kita akan bersama ... walau tidak tahu kapan takdir akan membawa kita, mempertemukan kita, dan membuat kita bersama lagi. Aku tidak tahu kapan hal itu terjadi, tetapi aku akan memaafkan kesempatan, hal seperti ini ... tidak akan terjadi lagi."

**

"Ah!" Seorang wanita terbangun dari tidurnya dengan spontan. Napasnya tidak beraturan, rambutnya juga terlihat acak-acakan. Sekejap wanita itu memejamkan mata rapat-rapat dan menghela napas kasar.

"Lagi-lagi aku bermimpi hal yang sama," gumam wanita itu seraya mengusap wajahnya kasar.

Ia melipat kedua kakinya, tertunduk dalam menatap kasur berlapis seprei biru langit dengan motif mawar. "Nggak tahu kapan aku bebas dari mimpi ini," lirih gadis itu seraya menenggelamkan wajahnya diantara kedua lengan kurusnya.

"Kamu akan terbebas dari mimpi itu, jika berhasil menemukan 'dia' dan menepati janjimu." Suara itu berhasil membuat wanita itu setengah kaget. Didapatinya seorang wanita dengan pakaian kebaya berlumuran darah yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat tidurnya.

"Siapa 'dia'? Aku aja nggak tahu siapa," ketus Sharon seraya beringsut dari tempat tidurnya. Ia sering sekali terbangun tengah malam, dan melihat wajah seram wanita berkebaya itu.

Wanita berkebaya itu tidak menjawab, tetapi jari telunjuknya tertuju pada sebuah majalah. Ah, itu majalah yang diberikan oleh temannya tadi pagi. Katanya ada sebuah lowongan pekerjaan yang sangat berbahaya daripada menjadi pawang ular king kobra. Memangnya apa?

REINKARNASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang