Entah kenapa aku ingin menulis beberapa alasanku ingin mati setelah melakukan sesi pembicaraan yang dalam dengan mamaku. Awalnya, aku membicarakan tentang salah seorang teman dari program pendidikan yang kuambil. Anak tersebut membuat masalah di grup obrolan kelas dan terlibat pertengkaran, aku pun ikut andil dalam pertengkaran tersebut dengan tiga anak lainnya. Setelah pertengkaran selesai, kami pun sepakat untuk mengeluarkan anak tersebut dari grup obrolan.
Menurut salah seorang temanku yang terlibat dalam pertengkaran, ia memang pernah satu sekolah dengan anak itu di jenjang SMA. Dia berkata padaku bahwa anak itu memang memiliki keterbelakangan dan pernah menjadi korban perundungan semasa SMA. Jujur, aku sedikit merasakan trigger yang amat mengerikan, karena aku sendiri juga pernah menjadi korban perundungan. Dan dia berkata lagi, bahwa anak itu ingin mencoba hidup normal. Istilahnya dia ingin diterima di masyarakat dan ingin dunia melihat bahwa ia anak yang seperti ‘itu’.
Memang jika diamati saat kami melakukan kelas di Google Meet atau Zoom, atau bahkan di Whatsapp, ia selalu saja bersikap menyebalkan dan jujur, membuat kami risih. Jika kupandang dari sudut pandangku, aku sebenarnya iba. Namun sikapnya yang menyebalkan, membuatku merasa terbawa arus rasa kesal dengan beberapa temanku yang juga ikut kesal. Dan hal ini kuceritakan kepada mamaku yang merupakan seorang tenaga pengajar Bimbingan Konseling di SMA.
Mamaku menilai pertengkaran yang kami lakukan itu salah.
“Harusnya enggak seperti itu. Justru malah kalian yang keliatannya sehat jadi pelaku perundungan kayak begitu. Kalau pun dia memang ada keterbelakangan, harusnya dirangkul, mau semenyebalkan apa pun dan bersikap tidak baik jangan ditanggapi. Karena hal itu bisa membuatnya semakin senang dan semakin berusaha untuk mencari perhatian.”
Aku memperhatikan mama dengan seksama.
“Jikalau anak itu memang mendapatkan didikan yang keras dari orangtua, kurang komunikasi dengan orangtua, dan tinggal dilingkungan yang kurang baik bisa menjadi faktor ia bersikap seperti itu. Dan sekalinya ia mendapatkan trigger dan mengakibatkan ia marah, akan seram dan ia bisa bertindak seenaknya.”
“Ia tinggal dilingkungan yang toxic, dan menjadi pemacu ia mendapatkan trigger?”
Mama mengangguk mendengar pertanyaanku.
Aku tercekat, lantas segera bertanya, “Apakah aku juga termasuk tinggal dilingkungan keluarga yang toxic?”
Mama menggeleng, “Mama akan diam kalau kamu enggak salah, mama akan marah kalau kamu salah.”
“Tapi, kenapa Mama kalau marah emosinya suka enggak terkendali? Apa mama juga kena faktor lingkungan yang toxic semasa Mama kecil?” tandasku, mengingat nenek buyut selalu bersikap keras terhadap nenekku dan mama.
Aku menyangka bahwa mama akan membantahku, namun diluar dugaanku, mama justru tersenyum getir. Sangat getir, pancaran matanya menyiratkan kesedihan dibalik senyum palsu yang mama ulas. “Ah, itu kan orang zaman dulu. Memang begitu didikannya, dan memang Mama mendapatkan didikan keras, seperti dipukul, dicubit, dan lain-lain. Makanya lebih baik Mama mengeluarkan semua emosi Mama yang sedang naik pitam dari pada harus memukul, mencubit, atau bertindak keras kepada anak Mama sendiri.”
Aku menggigit bibir, “Maksudku, Ma. Dari keluarga Papa, bahkan dari keluarga kita sendiri. Aku sudah ngerasain toxic dari keluarga besar kita sendiri.”
Mama menatapku, kalut.
“Aku udah ngerasa Ma, kenapa Bian yang selalu dibedakan dari sepupu-sepupu lain? Kenapa Mama sering dihina? Kenapa Papa selalu enggak pernah dipuji-puji hasil kerja kerasnya selama bekerja seperti Paman? Kenapa enggak ada yang peduli saat Papa sakit keras? Kenapa saat aku sudah lahir mereka menganggap Bian seorang saingan? Kenapa Mama selalu dikatakan enggak becus mengurusi Papa selama 14 tahun? Bahkan disaat Papa meninggal, apa mereka peduli? Malah, menyalahkan Mama dan Bian, kan?”
“Papa pun sejak kecil sudah dibedakan. Masak untuk dimakan sendiri, sekolah sendiri, ini itu sendiri. Apa Papa bukan anak kandung nenek, maka dari itu kita dibeda-bedakan bahkan dihina?”
Trigger yang kurasakan semakin tak terkendali, aku terus mengoceh ketika ingatan masa kecilku yang buruk terbayang dalam kepalaku.
“Bian bisa membaca dan menulis saat umur tiga tahun, mereka semakin benci sama Mama dan Bian. Bian enggak bisa matematika mereka menilai Bian adalah anak yang bodoh dan tolol. Saat Bian enggak bisa diam dan selalu banyak bicara Bian dinilai autis, disaat Bian sering melamun sejak kena maladaptive daydreaming mereka menilai Bian kerasukan setan. Apa Bian lahir ini tujuannya selalu dicari kesalahannya sampai saat ini?”
Aku nyaris menangis. “Ma, Bian udah ngerasain toxic dari keluarga kita sendiri dari keluarga Papa. Belum lagi adik dari nenek yang selalu memandang soal harta dan tahta, nenek buyut yang selalu menghina Papa. Mama yang dihina keluarga sana-sini, Bian ngerasa enggak berguna Ma, Bian enggak bisa berbuat banyak.”
“Ma, Bian udah ngerasain toxic sejak kecil. Bian enggak pernah berani bilang ke Mama karena mungkin Mama bakal berdalih itu bukan apa-apa.”
Aku pergi ke kamar, untuk menangis dan menuliskan alasan-alasanku yang tak seberapa dengan keinginanku untuk mati.
1. Aku selalu merasa tidak berguna bagi semua orang, acap kali aku dianggap pengacau dan tidak ada tempat untuk aku berada.
2. Aku tidak sepintar orang lain, yang selalu kukembangkan adalah menulis, menulis, dan menulis.
3. Aku terlalu mudah emosi dan kesulitan mengendalikan emosiku.
4. Sejak kecil aku selalu mendapat perlakuan buruk dan diskriminasi dari saudara mamaku dan saudara almarhum papaku.
5. Aku suka melamun dan menciptakan dunia khayalku sendiri, aku berharap aku bisa mati dan terjun ke dalam dunia khayal yang kuciptakan.
6. Jika terjadi kesalahan, aku sering menyalahkan diriku sendiri.
7. Aku pernah berada dilingkungan pertemanan yang buruk pula.
8. Aku sering membohongi diriku sendiri bahwa aku sedang baik-baik saja, padahal aku sangat lelah dan ingin selalu menangis.
9. Aku sering menyayat cutter atau silet ke tanganku sebagai pelampiasan.
10. Sejak kecil aku sering kesepian, aku senang sendiri namun aku tidak senang berlama-lama kesepian.
11. Aku selalu tertawa dan tersenyum di depan orang lain ketika aku sedang tidak baik-baik saja.
12. Aku jarang memiliki teman dekat yang bisa dipercaya.
13. Aku kehilangan rasa kepercayaanku kepada orang lain, termasuk percaya kepada diriku sendiri.
14. Aku selalu berpikir, kenapa bukan aku yang mati, kenapa harus papa. Jika papa saat ini masih hidup, mama tidak akan merasa terbebani oleh aku yang onar ini.
15. Aku mudah sakit. Entah itu sakit mental atau sakit fisik.
16. Aku sering tidak bisa meluapkan emosiku.
17. Aku tidak betah dirumah sejak mamaku menikah lagi.
18. Aku sering berpikir bahwa aku beban keluarga.
19. Aku selalu membuat mama bahkan orang lain kecewa dengan sikapku.
20. Aku sering merasa tidak percaya diri dan selalu berpikiran lebih mengenai masa depanku.
21. Aku mempunyai ingatan jangka panjang, sehingga jika saat anxiety yang kumiliki kumat bisa menjadi trigger-ku untuk tidak segan melakukan suicide atau mengalami overthinking.
22. Aku belum bisa mencintai diriku sendiri.22 alasan yang tidak sebanding dengan alasan orang-orang lain yang juga ingin mati. Terkadang, aku takut untuk menjalani hari esok. Pikiranku setiap aku terbangun dari tidurku adalah, ‘kebodohan apa lagi yang akan kulakukan hari ini’.
Keinginanku untuk mati begitu besar. Namun, dosa-dosaku juga terlalu besar ketimbang rasa ingin untuk mati.Dan, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu. Aku telah cukup mengecewakan orang lain, mama, papa, bahkan diriku sendiri.
Kepada siapa lagi, aku harus meminta maaf?
Kepada siapa lagi aku menjatuhkan kepercayaan selain kepada diriku sendiri.
Aku lelah selalu menuhankan egoku.
13st October 2020. Bianisa; sekarat dalam hidup.

KAMU SEDANG MEMBACA
22 Reason Why I Wanted to Die
No Ficcióngravity magically draws blood from my neck down my spine. i will walk the earth with hope to water the gardens red, one dropley at a time. pretty much anything a heart can handle. now all i need is to stab an arrow right through these pages and it w...