Pindah Sekolah

5 0 0
                                    

Pertama-tama, aku hanya ingin mengucapkan selamat pada diriku sendiri yang sudah berhasil melarikan diri dari sekolah menyebalkan dan malah pindah ke sekolah yang lebih banyak peraturan. Hidupku sudah rumit, ditambah dengan setumpuk poin sebagai sanksi pelanggaran. Spanduknya di cetak besar ditempel di dinding samping pos satpam.

Hanya itu yang menarik perhatianku sejak kakiku melangkah masuk. Selebihnya aku tidak peduli pada guru piket yang asyik memandangiku dari atas sampai bawah.

"Namamu siapa?" Itu pertanyaan model apa. Jelas-jelas namaku sudah terpampang di atas saku seragamku.

"Lintang?"

"Lintang Ayu Kusuma?"

"Tulis poinmu disini!" Mataku menyipit. Tentu saja! Memang salahku apa? Bahkan, aku sudah berusaha datang tidak terlambat. Menata baju rapi dan bersih. Membawa tas berisi penuh buku pelajaran, bukan kosong melompong hanya hiasan  seperti yang kulakukan hari-hari lalu.

"Tunggu! Salah saya apa pak?" Tanyaku yang lebih ditujukan untuk protes. Bapak yang menyuruhku menulis poin itu kulihat tidak bergeming. Malah dengan manisnya mendudukkan ku, memberiku buku catatan bersampul merah sekaligus bolpoin. Kepalaku mendongak, meminta penjelasan yang setidaknya bisa kucerna.

"Pertama, sepatumu warna putih. Disini, semua siswa siswi wajib memakai sepatu warna hitam. Yang kedua, kamu gak pakai dasi. Yang ke--."

"Bapak jelasin kesalahan saya atau sebutin peraturan perundang-undangan?" Potongku sambil mendengus.

"Yang ketiga, kaos kakimu warna-warni. Dan, yang keempat, rok mu terlalu pendek." Lanjut guru itu tanpa berbalik kesal padaku. Sedang bibirku sejak tadi sudah bersungut-sungut. Kuraih bolpoin yang tergeletak di meja, mencentang 'pelanggaran' yang kubuat hari ini. Tidak lupa kuberi nama di sampul merahnya, beserta kelas yang aku sendiri masih belum menginjaknya. Iya, aku baru saja pindah. Dan, hari ini adalah hari pertama aku masuk. Tapi, masa iya aku sudah mencetak dua puluh poin dalam sehari?

Kubangkitkan tubuhku. Melihat malas guru piket itu yang nampaknya tersenyum puas. Kuangkat tanganku sebelum beranjak, menyentuh kerah bajuku sendiri yang tidak memakai dasi.

"Memangnya nilai ujian nasional ditentukan dari penampilan?" Sindirku sinis. Ia terksiap. Memandangku ganti dengan datar.

"Dan, apa yang paling penting dari sekolah selain nilai?" Lanjutku. Tak perlu menunggu jawabannya, aku langsung mencangkleng tasku, beranjak pergi dari kesumpekkan pengabdi nilai yang mau-maunya disuruh mencatat poin pelanggaran. Padahal, yang membuat peraturan saja seenak jidat melakukan apapun, sesukanya. Benar-benar miris!

"Saya Lintang Ayu Kusuma. Semoga teman-teman tidak menuntut saya menjadi sempurna." Aku yakin, banyak pasang mata memandangku dengan melongo. Bukan menghina, melainkan geli atau aneh mendengar perkenalan pertamaku yang terkesan tidak biasa. Guru wali kelas, yang kuingat namanya Bu Farah itu mempersilakanku untuk duduk. Dan, entah kesialan apa lagi yang menimpaku. Bangku yang kosong hanya berada di nomor dua dari depan. Urutan bangku yang sering sekali kuhindari. Dimana aku tidak bisa berkutik saat harus mengerjakan ujian, ya meski pada akhirnya nilaiku paling bagus. Atau tidur disaat jam pelajaran.

"Ada masalah?" Tanya Bu Farah ketika kakiku berhenti tepat di samping bangku. Aku menggeleng pelan. Segera duduk di bangku dengan membiarkan tas masih tercangkleng di punggungku. Tidak lama, Bu Farah pamit undur diri.

"Heh! Kamu mau sekolah, bukan naik bis!" Tubuhku terlonjak kaget. Aku menghela nafas, melihat kesal seorang siswa yang bisa-bisanya kulupakan. Dia menyengir, mengulum permen rasa stroberi.

"Apaan sih, Ben!" Tekanku. Melepas tasku dan mencantelkannya di bangku.

Benny. Teman se-TK, SD, SMP, dan berpisah saat SMA, namun kembali dipersatukan lagi di kelas tiga ini. Takdir Tuhan yang paling tak bisa kubantah. Berteman dengan Benny, bisa kusebut anugerah atau malah tambah masalah. Sikap menjengkelkannya itu yang membuatku ingin mencelupkannya di teh panas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jika Kita Hanya Sekedar LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang