Kebebasan

32 4 0
                                    

Dunia adalah tempat yang amat indah. Keluasan yang membebaskan banyaknya flora fauna. Samudera biru yang menyatukan ujung-ujung dunia. Peninggalan nenek moyang yang menandakan tuanya tanah. Neraka ini, membuat saya sadar betapa besarnya bumi kami. Kesempitan yang melebihi kuburan, langit cerah yang selalu tampak suram. Hanya suara air hujan yang tenang, yang bisa menculik saya dari kenyataan. Dengan selonjoran di dudukan semen, Saya menoleh ke jendela sel sebelah kanan, memandang matahari yang sedang terbenam, memandang kebebasan.

Seperti yang anda sedang pikirkan, saya berada di penjara. Tepatnya, saya berada di penjara pulau Nusakambangan. Penjara ini cukup ramai. Bagi kaum bandar narkoba, tempat ini arena perebutan oksigen. Untungnya saya mendapat ruangan spesial, terletak di lantai yang terbuat dari titanium.

Disebelahku berdiri Cecep, teman sel saya. Pria botak etnis sunda yang tinggi dengan mata tajam. Berkulit kuning sehingga sering di sangka tionghoa. Yang saya tahu tentang dia, ia ditangkap karena ia membunuh saudara kandung nya.

"Ngapain Fon? Lagi menyesal masa lalumu?" ia bertanya dengan tenang.

"Enggak", kubalas.

"Enggak sama sekali."

"Masa?", Cecep balas sambil duduk di sebelah saya.

"Menyesal itu enggak buruk kok. Kami semua disini kehilangan keluarga, kehilangan teman, kehilangan tempat tidur kami yang amat empuk." Cecep ucap dengan suara kesal.

"Gue ngak nyesel dibilangin." Kubalas dengan tegas. Entah kenapa, kata-kata Cecep sekilas membuat saya mengingat masa laluku. Masa lalu yang saya sangat ingin mengalami kembali.

"Gue kesini ngak bawa apa-apa Cep."

"Keluargalah,...temanlah. Ngak ada." Raut wajahku perlahan berubah menjadi murung. Tidak lama pun matahari sudah terbenam, suara adzan maghrib kembali berkumandang. Kami berdiri dan bersiap-siap untuk penggeledahan malam. Kami menyembunyikan sebuah pemukul kayu panjang. Seperti biasa, tepat dalam 7 menit para penjaga datang.

Kami berdiri tegak seperti tiang saat penggeledahan, tak bersuara. Menurut pengamatan saya, penjara akan membuat siapapun menjadi gila. Penjaga yang seharusnya beretika dan rapih ketika menggeledah, tidak beda dengan sekelompok hyena yang kelaparan. Tidak lama pun, para petugas keluar. Diikuti dengan lampu yang perlahan-lahan mati.

Setelah mata kami menyesuaikan diri dalam kegelapan ini, kami duduk pelan-pelan. Cecep mengeluarkan nafasan lega, karena pemukul kami tidak ditemui.

"Fon, lu dulu ngak ada teman?" Cecep bertanya.

"Kalau diceritain lama" Kubalas, sambil merapihkan tikar kami yang sudah tidak layak dipakai.

Baru saja berapa menit setelah lampu mati, sel kami mulai mendingin.

"Sepertinya musim hujan telah tiba." Kuberkata.

"Andai saja jendela ini tiada, pasti enggak akan kedinginan kami.". Setelah perkataan Cecep, hujan langsung turun dengan deras. Saya tidak setuju dengan Cecep. Saya bersyukur keberadaan jendela itu. Tanpa jendela itu, kami tidak bisa melihat laut, kami tidak bisa menghirup udara segar, kami tidak bisa melihat sekilas kebebasan. Suara hujan deras ini membuat saya ngantuk, mengingatkan kembali ketika saya dalam kamar ku, tiduran membaca cerita-cerita Wattpad.

"Fon, lu kok...enggak pernah mau cerita sih?"

"Cerita apaan? Gue enggak pintar ngarang cerpen." kubalas.

"Maksud gue, lu cerita kenapa lu bisa disini, gua kan udah cerita, giliran lu." Cecep berkata.

"Gausah lah, males."

"Memang mau ngapain lagi disini? Gue penasaran banget, sampe lu masuk TV kan waktu itu." Cecep balas.

"......baiklah. Gue nyeritain yang gue inget aja ya." 

TemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang