Pembalasan

8 4 0
                                    

Sudah 8 tahun saya hidup dijalanan. Setiap hari saya kedinginan. Setiap hari saya kelaparan. Setiap hari......saya memandang kematian. Walaupun begitu saya sangat mahir dalam mencuri. Saya sangat yakin saya bisa merampok suatu bank sendirian, tetapi apa bedanya saya dengan mereka jika saya begitu.

Perlahan-lahan, jiwa saya terkikis. Sedikit demi sedikit, namun pada waktunya akan habis. Melihat keadaan saya, kematian mungkin adalah jalur yang terbaik bagi saya. Saya berdiri dipuncak monas tanpa ketahuan. Rumput hijau rata menunggu kejatuhan saya. Saya menutup mata saya, bersiap-siap melangkah. Tiba-tiba, muka saya tertonjok oleh kertas yang terhembus angin. Kertas ini menempel tepat dimuka saya seperti laba-laba. Padahal sudah seperti film, kertas bau ini menganggu kematian saya.

Sayapun mengambil kertas ini dan membuka mata saya. Ketika saya ingin mencabiknya, saya secara otomatis membaca kertas tersebut. Tercantum disitu, "Leo Angga Bukam, S. E". Bahkan jika saya menderita alzheimer's, nama itu pasti saya akan ingat. Saya melanjutkan untuk membaca isi kertas tersebut. Kertas ini merupakan undangan untuk sebuah acara, atas nama teman lama saya, Angga. Yang seharusnya hari kematian saya, menjadi hari pencerah hidup saya. Tuhan telah memberikan tujuan keberadaan saya didunia ini. Karena ini, saya merancang rencana, dan bersiap-siap.

Hari ini adalah hari acaranya Angga. Saya berhasil mencuri beberapa pakaian. Saya sedang memakai kemeja putih dengan dasi hitam, ditutupi dengan setelan jas merah. Acara ini ditempatkan disebuah aula besar didalam hotel mewah. Di setiap pelosok aula terdapat sebuah patung burung elang dengan sayap yang terbuka. Saya berhasil melewati resepsi menggunakan undangan yang kutemui. Prasmanan megah yang disediakan seolah-olah meledek kami yang setiap hari kelaparan.

Tempat ini sangat ramai. Walaupun itu, saya bisa melihat mereka. Mereka yang sedang berbincang disebelah sana. Mereka yang sedang berkumpul dengan gembira. mereka......yang menghancurkan hidup saya. Setiap hari, mereka hidup tanpa penderitaan tanpa kesengsaraan, tanpa kelaparan. Sayang sekali mereka tidak tahu bahwa hari ini akan menjadi hari terburuk mereka, terutama untuk Angga. Hari dimana seharusnya yang terindah dan paling bahagia, akan menjadi bab terakhir hidupnya. Andai saja ia tidak menanyakan pertanyaan terkutuk itu, pasti semuanya tidak akan begini. Saya akan menghancurkan pernikahan Angga.

Kami semua diminta untuk mengumpul ditengah aula. Saya melihat pengantin perempuan masuk kedalam aula, berjalan menuju pelaminan. Dunia memang tidak akan pernah adil. Orang yang mengambil segalanya dari saya, mendapatkan perempuan tercantik di seluruh alam semesta. Kami semua terpesona oleh auranya. Ketika ia berjalan, Semua mata terpandang kepadanya. Pelan-pelan saya menuju ke pintu utama, dan menguncinya. Kami semua menyaksikan proses akad nikah. Angga dan tunangannya terlihat sangat antusias.

Semua hadirin bertepuk tangan ketika saksi menyatakan sah. Saya akan memulai rencana saya. Perlahan-lahan saya melangkah ke tempat pelaminan dengan kepala tertunduk. Semua mata terpandang ke saya. Seluruh aula hening dengan hawa keraguan, hanya suara langkah kaki saya yang memenuhi ruangan.

"Ngapain kamu? Siapa kamu?!"Angga berkata dengan tegas. Saya lumayan terkejut karena sikap dia. Dalam bayangan saya, orang yang baru saja menikah akan berendah hati dan bersuara santai. Ketika saya mengangkat kepala saya, Angga terdiam. Mulut terbuka lebar seperti mayat gantung, mata menjadi besar seperti melihat hantu.

"Dah lama ya?" kuberkata. Saya menempatkan tangan kiriku dipundaknya. Sambil membuka sedikit jas ku, saya mengambil sebuah pisau panjang, dan menusuk dada Angga dengan cepat.

Saya menariknya, dan menusuknya. Menariknya, dan menusuknya. Saya melakukan ini berkali-kali sehingga darah bermuntahan dari sayatannya. Orang-orang disekitarnya melarikan diri. Seluruh ruangan diisi dengan teriakan. Tangisan Istri Angga menyakiti pendengaran saya. Ia berkali-kali memukul dan menendang saya. Walaupun saya sudah kebal terhadap serangan lemah seperti ini, tetap saja menganggu.

Angga berusaha untuk melepaskan diri dan mendorong saya, namun tidak bisa. Saya mendorongnya sehingga ia jatuh. Darah Angga berserakan dimuka saya sekaligus di kulit putih istrinya. Beliau sangat mencoba untuk menutup pendarahannya dengan menekannya. Karena ia sudah menggangu saya ketika saya membunuh Angga, saya menjambak rambutnya, menepatkannya diatas suaminya, dan memenggal kepalanya dengan satu ayunan, selayaknya hewan kurban. Kepala istrinya jatuh di badan Angga seperti buah kelapa matang. Darah mulai bercipratan dari lubang leher. Pandangan terakhir hidup Angga adalah kepala Istrinya yang sudah terpisah dari tubuhnya. Saya pun mengakhiri hidupnya dengan menempelkan kepala tersebut dimuka Angga, dan menembuskan pisau panjang itu diantaranya.

Keputusasaan yang terlihat didalam jiwa Angga, sungguh memuaskan. Karena capek, saya duduk di kursi pelaminan. Terlihat di seberang ruangan, seluruh tamu sedang mendobrak-dobrak pintu untuk kabur. Saya mengambil microphone yang telantar, dan teriak,

"Semua Diam!"

"Letakan ponsel kalian disini! Atau kalian bernasib seperti mereka." Kuberkata sambil menunjul ke mayat Angga.

Mereka semua menurut perintah saya. Ketakutan yang mereka radiasikan memberi tahu saya bahwa saat ini, saya yang berkuasa, saya yang menentu takdir mereka. Semua hadirin berdiri sambil menunduk seperti siswa yang dimarahi saat upacara. Dikalangan siswa tersebut, terlihat jelas "mereka".

Saya memanggil Ardi untuk maju. Dengan pelan-pelan, ia melangkah menuju saya dengan gemetaran. Ia berjalan sangat pelan, kesabaran saya mulai pudar. Saya mengambil pisau lagi dari jas saya, dan melemparnya tepat diantara tulang selangka Ardi. Pisau tersebut merobek leher dia, membuatnya tenggelam dengan darahnya sendiri. Ketika saya mencabut pisau tersebut, Tenggorokan Ardi menjadi seperti air mancur darah. Saya mengangkat dia dan membantingnya ke tumpukan ponsel. Terlihat di kantong Ardi terdapat sebuah korek api. Saya menggambil korek api tersebut, menyalakannya, dan melemparnya ke Wara. Tidak lama setelah itu, terjadi peledakan yang dahsyat. Api membara dengan hebat, membakar Ardi sampai dosa-dosanya.

Untuk menghemat waktu, saya memanggil Azra dan Wara bersamaan. Pertama-tama, saya mengambil staples dari ikat pinggang saya, dan menstaple kelopak mata dan alis mata Azra. Dengan begini, saya membaut Azra tidak bisa berkedip. Saya mengeluarkan tali dan mengikat dia dalam posisi duduk.

Kemudian, saya mengambil Wara. Saya juga mengikat dia, tapi dalam posisi tiduran. Saya mengambil pisau yang saya gunakan untuk membunuh Ardi, mengangkatnya, dan menghantamnya di kaki kanan wara. Saya memotong setiap bagian tubuh Wara perlahan-lahan. Darah berkeluaran dari setiap ujung badannya. Tubuh Wara sudah seperti rumah lego yang dihancurkan, hanya kepala yang masih terhubung badan. Jeritan Wara bergema disekitar ruangan. Azra tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat.

"Kenapa kamu melakukan ini kepada kami?! Hal ini tidak pernah setara dengan apa yang kami lakukan! Kami hanya bercanda!" ia teriak.

"Gue juga lagi bercanda.". Dengan pisau yang sama, perlahan-lahan saya menusuk matanya. Darah mulai berkeluaran dari mata yang sudah merah. Kesenangan yang ku amati ketika saya menusuk matanya terbuka, tidak bisa dijelaskan dalam kata-kata. Setelah itu, saya membelah bola matanya menjadi dua. Kedua belahan tersebut bergelinding dari pipi Azra sampai ke lantai. Saya juga mengulangi ini di mata sebelahnya, perlahan-lahan ia menjadi buta.

Ketika saya selesai membunuh teman-teman saya, saya lanjut untuk membunuh semua yang ada disana. Setiap orang harus menderita, setiap orang harus menderita. Ketika para polisi berhasil mendobrak pintu aula, mereka sudah terlambat. 134 jiwa. 134 jiwa saya ambil dalam rentang 10 menit.

Bagi anda yang mengatakan saya orang jahat, anda salah. Hanya karena perbedaan harta orang tua, hidup saya dihancurkan tanpa ampun oleh mereka yang saya kira setia. Saya berhak membunuh mereka. Saya berhak bergembira. Ini semua tidak akan terjadi jika mereka tidak mengkhianati saya.

"Oh gitu......lumayan sadis juga lu" Cecep berkata.

"Apaan, lu jauh lebih kejam" kubalas

"Iyasih, yaudahlah, mo tidur" Cecep balas.

Setelah menceritakan semuanya ke Cecep, saya mulai berpikiran. Apa yang akan terjadi jika saya tidak mengajak Angga kemari. Apakah mereka akan tetap menanyakan pertanyaan itu dan tindas saya? Atau pertanyaan itu tidak pernah keluar dan mereka tetap menjadi teman saya. Saya tidak akan pernah tahu jawaban itu.

Apakah saya menyesal? Tidak, sama sekali tidak. Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Mereka pantas mendapatkannya, dan saya pantas dihukum selamanya.

Walaupun mereka mengkhianati saya, walaupun mereka sudah tiada, kenangan-kenangan indah yang kami buat, akan selalu menemani pada malam yang sunyi.

TAMAT

TemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang