Reina

7 0 0
                                    

1991
Rumah putih dengan pilar tinggi terlihat menonjol diantara rumah lain di gang Merpati. Setiap sore anak kecil berlarian di halaman depan, bermain kelereng atau lompat tali dibawah pohon mangga. Saat pohonnya berbuah, mereka berebut memanjat dan ramai-ramai makan dibawahnya.
Tapi sore itu semua anak-anak sudah rapih dengan sarung yang laki2 dan anak perempuan berjilbab ramai-ramai menuju rumah pak Abdul.
Didepan rumah pak Abdul sudah terparkir truk besar yang di bak nya sudah diisi dengan nasi tumpeng dan sudi isi bancakan (daun pisang di bentuk mangkuk,diisi nasi dan lauk pauk) ukuran kecil-kecil.
Sore itu pak Abdul, orang terkaya di gang itu punya hajat, slametan truk dan adatnya, anak2 diajak naik ke bak dan makan bersama diatas bak truk, sementara truk berjalan keliling kota. Katanya ini dipercaya akan memberi keselamatan supir serta pengguna truk.
Semua anak kecil ikut kecuali Reina. Gadis 9 tahun itu hanya bisa melihat dari kaca rumah putih berpilar,tapi Egi, kakaknya bisa ikut bareng teman-temannya.
Reina tidak pernah ikut bergabung bukan tanpa alasan, teman2 sebaya dan kakaknya yang berusia 11tahun tidak pernah membiarkan Reina ikut bermain.
Bagaimanapun caranya mereka selalu berhasil membuat Reina menangis pulang dan sekeras apapun usaha Reina untuk berteman, sekeras itu pula mereka menolak.

"Mbak Rei, nggak ikut slametan?" Mbak Ruk, art yang ikut mama Rei sejak  Rei bayi sudah ada dibelakangnya sambil nyapu ruanh tamu
"Enggak mbak, mbak Ruk bisa ga bikinin sudi, aku pengen makan begituan" tanya Rei
"Bisa, besok kita bikin ya..." begitulah mbak Ruk selalu berusaha membuat anak majikannya ini bahagia. Mbak Ruk seolah menggantikan mama Rei yang sibuk bekerja di Bank Daerah. Selalu pulang malam karena mama Rei punya jabatan dan papa Rei pengusaha di ibukota.
Rumah yang Reina tempati adalah rumah eyang Reina. Sementara eyang dan tante Reina tinggal di ujung gang.

Mama Reina pernah ijin untuk membeli rumah sendiri yang dekat dengan kantor tapi tidak diijinkan eyang dan papa Reina. Entah karena apa, Reina sering melihat adik dari papanya bersikap yang kurang baik ke mamanya. Bahkan perlakuan yang berbeda sering Reina terima. Kakak Rei sangat disayang dan terasa dimanjakan sedang Rei sering kali di sisihkan.
Tapi Reina anak yang cerdas dan ramah serta ceria. Perlakuan-perlakuan kurang menyenangkan dari saudaranya dianggap angin lalu dan Reina sibuk dengan belajar, menari dan bermain sendiri.
Sampai tiba hari itu, sore hari yang tidak bisa dilupakan Reina seumur hidupnya.

"Mbak Rei, makannya sudah dihabiskan?" Mbak Ruk memastikan Reina habiskan makanannya
"Udah mbak. Mbak kayaknya bakal hujan deres, mama pulang jam berapa ya?" Reina keluar melihat ke langit yang mulai gelap, seperti biasa Reina nggak bisa diam mendengar musik. Otomatis badannya meliuk bak ballerina, karena memang sejak unur 6 Reina ikut kelas ballet. Belum sampai kakinya turun ke lantai terdengar seseorang berteriak sekerasnya
"Heh kamu anak orang ga tau diri!!! Ngapain kamu joget disitu, kamu ngeledek sayaa ya???!!" Reina kaget dan hampir jatuh kalo saja mbak Ruk nggak cekatan menangkap tubuh kecilnya. Reina berbalik dan melihat tantenya berdiri di depan pintu dengan membawa sebongkah batu
"Ada apa tante?" Terbata Reina bertanya
"Kamu ya, sama kaya ibumu ga tau diri, b***nga* ...****" kata kasar hinaan semua keluar dari mulut tantenya dan mbak Ruk tanpa menunggu lama meraih badan Reina menggendongnya masuk ke kamar. Meninggalkan tante Almira yang terus berteriak mehina mama dan Reina. Reina menangis sejadinya ketakutan dipelukan mbak Ruk.

Jam 8 malam mama Reina pulang saat hujan deras, sangat deras dan petir menyambar. Masih basah baju mama saat melihat Reina matanya sembab dan berlari memeluk mama.
"Maa, Rei takut...ayo kita pergi dari sini. Rei nggak mau disini" reina menangis membuat mamanya bingung
"Mbak Ruk, kenapa Rei begini?" Terbata dan takut salah bicara mbak Ruk menjawab dan menceritakan kejadian sore tadi.
Tanpa berganti baju dan menunggu, mama Rei bergegas membawa Rei ke rumah eyang.
Sampai dirumah eyang, berharap tante Almira minta maaf atau menjelaskan yang terjadi. Tapi yang terjadi sebaliknya tante Almira memaki mama dan semua umpatan kasar keluar dari mulut tante, dihadapan Rei bahkan Reina dan mama diusir dari rumah itu. Dan mama mengiyakan menuruti untuk meninggalkan rumah berpilar putih, malam itu juga. Eyang mencoba menahan, tapi mama sudah tidak bisa bertahan.
Mama menghubungi teman kantornya dan Tuhan bersama mereka, malam itu ditengah hujan deras dan petir, mereka pergi dari rumah itu tanpa Egi. Karna Egi memilih tinggal dengan eyang.

Malam itu, hati Reina telah tergores luka, luka yang teramat dalam.

2010
"Mbak Reina, dekorasi gedung sudah selesai. Besok jam 3 mbak mulai didandanin ya..." tante Dewi perias manten yang dipilih Reina beberes sisa acara midodareni.
Iya, malam ini malam midodareni pernikahan Reina.
"Siap tante, aku mandi jam 3 dong...takut masuk angin hahaha" Reina berusaha bercanda, Lisa sahabatnya tau persis apa yang Reina rasakan.
Sesaat setelah tante Dewi pergi, Reina duduk termenung dan air matanya meleleh lagi. Kali ini bukan air mata bahagia, tapi ketakutan. Ketakutan yang sangat dalam hingga dia terisak. Bahunya nerguncang, Lisa memeluk birthdays menenangkan tapi gagal.
Tangis Reina semakin menjadi.
Mama masuk ke kamar pengantin
"Rei, are you okay?" Mama memeluk Rei yang tangisnya semakin menjadi.
"Ma, Rei takut...Rei nggak mau nikah!"
Semua yang diruangan itu termasuk papa yang berdiri di pintu terperanjat.
"Rei, kamu kenapa, ada masalah dengan Ardian?" Tanya papa. Ardian calon suami Reina terkenal lembut penyayang dan baik di mata keluarga Reina.
"Reina, ada apa...bukan begini cara menyelesaikan masalah"
Lisa yang sejak tadi diam akhirnya memberanikan diri bicara seolah mewakili Reina yang terus menangis
"Tante, Rei ketakutan. Rei takut keluarga mas Ardian tidak nenerimanya...Rei selalu teringat..." Lisa tidak melanjutkan ceritanya, karna Lisa mengerti yang menggores trauma di hati Rei adalah keluarga papa Rei.
Mama mulei memahami yang terjadi
"Tinggalkan kami berdua" mama meminta papa dan Lisa keluar.

Reina memeluk mamanya erat...perlahan mama menenangkan Reina dan meyakinkan bahwa yang terjadi pada mereka dulu, tidak akan sama dengan apa yang akan Reina jalani.
Luka masa kecil Reina, mungkin telah terlupakan oleh orang disekelilingnya, tapi nyatanya goresannya terus membekas bahkan setelah berlalu 19 tahun lamanya.

LUKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang