Hari keempat pelatihan lebih melelahkan dari sebelumnya. Lelah secara fisik dan berhasil terlatih secara mental. Komdis itu sangat telaten dalam membalikkan pertanyaan dan jawaban. Kami semua sering merasa ciut karena tidak bisa menjawab pertanyaan menjebak mereka.
Selanjutnya, kami mengisi tes akhir akademik dan karakter untuk menguatkan pengetahuan kami. Sudah bisa kutebak bahwa soal numerik membuatku mulas setengah mati.
Aku pun meminta pada Tuhan untuk memberikanku kekuatan mengisi soal matematika itu walau jawaban mereka kurang tepat. Aku memilih mengisi mereka semua dengan yakin akan salah. Entahlah. Pikiranku yang terus menjebakku kian melebar dan menguasai jalan logikaku.
"IDIOT!"
Suara itu tiba-tiba bergema di dalam kepalaku. Aku menggenggam erat pulpenku lagi. Kaki kiriku kesemutan, kemudian disusul yang satunya lagi. Paru-paruku seolah mengencang. Angka skor minimal mulai menghantuiku tanpa izin. Aku meremas tanganku sendiri. Mengepalkannya dengan memohon agar tidak membasahi kertas dengan keringat dinginku.
Bagaimana jika aku gagal dalam tes ini dan Miller kembali murka?
~~~
"Pengirim paket sekolahmu membawakan hasil ujian," sebuah map biru mendarat di meja belajarku. Aku langsung membukanya dengan perasaan yang ketakutan sekaligus bergairah.
Alex masih berdiri di sebelahku, menungguku membuka setiap nilai test yang akan kudapatkan di minggu pelatihan.
"Apa?" Tanyaku.
Alex duduk di kursiku secara paksa dan aku tak mau berdempetan dengannya. Tanganku mendorong tubuhnya dan ia mendorong tubuhku. Ada adegan saling dorong sebelum akhirnya ia menyerah.
"Aku mau melihat soal matematikamu," ia hendak meraih mapku namun aku langsung menyingkirkannya.
"Ini hasil jawabannya saja. Mereka tidak memberikan soal," jawabku seraya terus menjauhkan mapku darinya. Aku tidak ingin dia tahu hasil matematikaku. Ia memang tidak pernah merendahkan atau menertawakan setiap hasil matematika yang sudah kudapatkan selama bertahun-tahun, tapi aku merasa malu saja.
"Pelit," lalu ia berbalik dan pergi. Aku buru-buru menutup pintu dan membuka map itu di meja belajarku.
Lembar pertama memperlihatkan tabel hasil data karakter dan kemampuan kognitifku. Nilai-nilaiku cukup baik untuk membuktikan bahwa ini hasil konkret dari menahan untuk tidak menangis ketika dipermalukan di depan seluruh sekolah.
Lalu aku membuka lembar berikutnya yang menunjukkan hasil kemampuan akademik dari beberapa pelajaran.
Inggris A+.
Seni A.Aku tersenyum.
Spanyol, German, Prancis A+. Aku memgambil cukup banyak peminatan dalam pelajaran bahasa.
Dan semua mata pelajaran lainnya yang kulihat tidak pernah kurang dari B. Cukup memuaskan dan sesuai harapan.
Aku membuka lembar berikutnya. Hatiku mencelos.
Huruf kapital merah dan besar, ditaruh di dalam sebuah kotak di ujung kanan lembar jawaban sesi numerik.
Matematika D-.
Tidak ada ceklis di deretan dua puluh lima kunci jawaban kecuali nomor tujuh dan sembilan . Bahkan essaiku tidak mendapat sentuhan tinta pulpen sedikit pun.
Pesan pemeriksa soal di bawahnya semakin membuatku ngeri.
Belajar menghitung! Kau sudah kelas 11!
Kalimat itu membuatku bergidik. Kata-kata pembangun mental lagi.
Satu nilaiku yang anjlok seolah menghancurkan deretan A dan B lainnya yang sudah ditakdirkan padaku. Ia hanya tak tahu kemampuanku di mata pelajaran yang lain. Sistem perspektif yang meruntuhkan kepercayaan diriku, sejujurnya.
Miller menarik hasil matematikaku dengan kasar.
Aku terlonjak kaget. Aku tak menyadari seseorang masuk ke dalam kamarku.
Dahinya mengernyit. Ekspresi wajahnya mengeras. Aku mencoba berkata bahwa nilai yang lain cukup bagus untuk dilihat. Tapi ia terus menatap lembar matematikaku.
"Apa apaan ini?" Miller bertanya kepadaku.
"Aku sudah berusaha," jawabku dengan suara yang hampir tercekat.
Kertas itu dipukul ke wajahku. Keras sekali.
"Berusaha apa?! Kerjaanmu selama ini hanya mencoret-coret buku diary dengan coretan kacau yang bahkan tidak bisa meningkatkan daya menghitungmu!" Miller menggerakkan map itu ditangannya dengan penuh amarah, "Akulah yang sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membantumu mendapatkan A di ujian matematikamu! Aku bahkan tidak pernah melihatmu bergelut dengan rumus-rumus! Kau hanya mencampakkan buku latihan yang sudah kubelikan dan memilih membaca novel khalayan yang tak berguna!" Suara Miller meninggi.
"Aku sudah berusaha. Setiap malam aku mencoba menghafalkan rumus-rumus itu dan berulang kali mengisi latihan soal yang sama," aku berusaha menjelaskan padanya namun lagi-lagi ia melontarkan sesuatu yang membuat hatiku sakit.
"Alex bisa melakukannya! Ia terus berada di meja belajar untuk menyelesaikan masalah hitungan selama berjam-jam sampai melupakan makan malam selama berhari-hari! Ia memenangkan olimpiade dan membuatku bangga dengan piala-pialanya! Sedangkan kau hanya menunjukkan padaku nilai bahasa yang sama sepanjang waktu!"
"Selama tiga belas tahun aku terus mencari cara untuk mendapatkan nilai tinggi di ujian matriks tapi aku tidak bisa memaksannnya! Matematika bukanlah pilihanku, Miller. Kau harus mengerti bahwa cita-citaku ingin menjadi ahli sastra dan bahasa. Tidakkah cukup menuliskan seluruh naskah yang bisa menghasilkan nilai jual?! Penghargaanku dan Alex berbeda jalan! Bakat kami berbeda! Kau tidak bisa terus menekanku seperti ini!" Suaraku tak kalah tinggi.
"ITU KARENA KAU GADIS YANG BODOH!" Tamparan keras mendarat di pipiku. Miller berteriak di depan wajahku dengan murka. Aku menutup wajahku. Tanganku gemetar, sambil memegangi pipiku yang kini terasa panas dan perih.
Ini adalah kali pertama aku melawannya untuk menjelaskan apa yang selama ini kurasakan. Selama tiga belas tahun aku dituntut untuk bisa menyelesaikan ratusan soal matematika dan tidak ada yang berhasil dengan sempurna, dan untuk kesekian kalinya, tangan Miller yang bertenaga melukai bagian tubuhku.
Miller membanting pintu kamar.
Telingaku telanjur menangkap semua yang dikatakannya. Semua itu. Bertahun-tahun aku menerima bentakan dan pengendalian yang tak ingin aku lakukan.
Alexlah yang selama ini dianggap cerdas oleh Miller. Aku tidak pernah mendapatkan apresiasi apa pun atas sertifikat-sertifikat perlombaan menulisku. Miller tidak pernah mau datang ke pentas drama musikalku karena ia berpendapat bahwa penampilan seperti itu tidak bermanfaat dan hanya membuang-buang uang hanya untuk mendapatkan tiket masuk. Miller selalu menyuruhku untuk berlari keliling komplek bersama Alex dan yang lainnya ketika aku sedang berlatih menari di halaman. Ia marah kepadaku jika aku bisa menggambar bangunan namun tidak bisa menjelaskan teori hitungannya.
Miller menuntutku untuk bisa mengotak-atik mesin komputer. Miller terus menyuruhku untuk bisa melakukan apa yang Alex kuasai. Dia ingin melihat pasangan kembar yang satu ini berjalan bersamaan. Dia senang membentakku. Dia senang menyebutkan kekuranganku dalam berhitung di depan guru les privatku.
Bertahun-tahun matematika menghancurkanku. Matematika membuatku merasa bodoh dan seringkali tidak percaya diri dengan keahlianku yang lain. Dunia melihat kecerdasan disekelilingku hanya dari nilai rapor matematika. Hitungan-hitungan rumit menjadi tolak ukur kejeniusan seseorang. Itu tidak adil!
Aku terus berusaha bahagia namun lagi-lagi sikap Miller membuatku tenggelam dalam kesedihan yang luar biasa. Hasil ini hanya test numerik standar yang berarti level tinggi untukku. Tes ini bukanlah tes masuk perguruan tinggi. Tapi Miller terus membuatnya seolah-olah ini semua adalah rintangan kemampuan otak untuk menyeleksi apakah kita akan masuk ke dalam surga atau neraka.
Gadis bodoh... Gadis bodoh..

KAMU SEDANG MEMBACA
WAKE ME UP WHEN I SLEEP [COMPLETED]
General FictionAlex adalah saudara kembar Emma yang sangat setia menemaninya, bahkan di saat-saat terberat dalam hidupnya. Alex dan Emma merindukan orang tua mereka yang sudah meninggal sejak mereka bayi. Namun, kini mereka harus menjadi korban dari pertikaian kak...