"Jaemin! Na Jaemin! Keluar kamu!"
Jaemin yang sedang memetik gitarnya harus menunda aktivitasnya itu dan menemui sang ayah yang sudah berteriak memanggil namanya dilantai bawah. Jaemin tahu apa yang akan terjadi.
"Cepat Na Jaemin! Jangan membuang-buang waktuku untuk meneriaki nama tak bergunamu itu!"
Tak berguna ya? Tapi mengapa harus ada marga ayahnya dalam namanya?
"Aku tidak menyuruh ayah untuk berteriak dan membuang-buang waktu, ayah sendiri yang melakukannya." Sahut Jaemin yang sedang berjalan santai menuruni tangga.
"Sialan! Cepat kesini kau!"
Jaemin berdiri dihadapannya ayahnya tanpa rasa takut sedikitpun, dengan tangan yang ia masukkan kedalam saku celana, Jaemin menatap ayahnya dengan alis terangkat sebelah.
"Ada apa tuan Na?"
"Bicara yang sopan pada ayahmu, sialan!"
Jaemin tersenyum miring. "Tapi ayah sendiri tidak pernah berbicara sopan padaku, jadi buat apa aku sopan pada ayah?"
Plak!
Tangan kosong ayah mendarat dengan sempurna dipipi mulus Jaemin membuat tanda merah disana. Jaemin memegang pipinya yang sedikit panas kemudian menatap ayahnya dengan tatapan tajam.
"Ayah itu kenapa sih?!"
"Kamu nanya kenapa?! Lihat nilai ujianmu, semua dibawah delapan, apa kamu tidak bisa seperti adikmu Minhee?! Nilai ujian dia selalu sembilan, selalu sempurna! Tapi kau?"
Sebenarnya Jaemin capek dibanding-bandingkan oleh adiknya, Na Minhee. Jaemin sudah berusaha, sudah belajar tepat waktu, namun Jaemin juga tidak bisa memaksakan kemampuannya. Jaemin tidak bisa seperti Minhee, karena Jaemin adalah Jaemin, tidak bisa disamakan seperti orang lain.
"Aku udah berusaha yah, aku udah nyoba tapi aku gak bisa."
"Karena kamu gak punya bakat apa-apa Na Jaemin! Tidak ada yang bisa dibanggakan dalam dirimu, kamu itu menyusahkan!"
Jaemin sudah biasa dengan perkataan ayahnya, Jaemin tidak apa-apa. Jaemin baik-baik saja. Semua perkataan ayahnya hanya ia anggap angin lalu.
"Ayah mau aku kayak apa lagi? Apa gak cukup piala aku satu lemari besar? Apa gak cukup piagam yang aku tempel satu tembok penuh? Apa gak cukup medali yang aku kumpulkan selama ini? Semua itu ayah anggap apa?"
Ayahnya tidak menghiraukan, menurutnya piala itu tidak ada apa-apanya dengan piala yang didapat oleh Minhee, karena piala Minhee ia dapat dengan otak sedangkan Jaemin dengan tenaga.
"Percuma, piala kamu itu gak berguna! Kamu lomba apa? Cuma nyanyi, dance, renang, futsal, basket. Mana piala olimpiade kamu? Ada? Nothing, Na Jaemin!"
Jaemin sudah mengepalkan tangannya kuat, jika saja orang didepannya ini bukan ayahnya, mungkin Jaemin sudah melayangkan tijuan pada wajahnya.
"Terserah ayah, aku capek!"
Jaemin membalikkan badannya kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, disana dia tidak sengaja berpapasan dengan Minhee.
"Kak Jaeㅡ"
"Jangan ngomong sama gue, Min." Jaemin kemudian memasuki kamarnya dan membanting pintu kamarnya kuat.
Minhee yang melihatnya merasa hanya bisa menatap pintu kamar kakaknya dengan tatapan sendu, dia tahu Jaemin tidak sekuat itu. Minhee yakin didalam sana pasti Jaemin menangis.
"Bunda, lihat, kakak nangis lagi."
***
Jaemin memakai sepatunya kemudian segera menuruni tangga untuk sarapan, hari Sabtu sekolahnya memperbolehkan para murid untuk memakai pakaian bebas karena tidak ada kegiatan belajar mengajar, hanya ada kegiatan ekstrakulikuler.
Dengan kaos hitam polos dan celana levis hitam dan tas yang ia sampirkan dibahu kanan, Jaemin mulai melangkah mendekati meja makan. Kosong. Tidak ada makanan yang tersaji disana.
"Den, maaf bibi gak masak. Tuan gak suruh bibi buat belanja."
Jaemin tersenyum kecil. "Gak papa kok bi, Jaemin bisa makan disekolah, yaudah Jaemin pergi dulu ya."
Jaemin menyalimi bibi kemudian melangkah keluar dan mengeluarkan motor ninjanya dari dalam garasi, dia melihat sudah tidak ada motor Minhee dan mobil ayahnya. Pasti sudah berangkat, pikir Jaemin.
Jaemin mulai melesatkan motornya meninggalkan rumah, tak butuh waktu lama dia sudah sampai dan segera memakirkan motornya disamping motor ninja hitam yang Jaemin yakini itu adalah motor Renjunㅡtemannya.
"Woy Jaem."
Jaemin menoleh kebelakang dan mendapati Renjun sedang berjalan kearahnya dengan Haechan dan kak Markㅡdua bucin itu tidak akan bisa dipisahkan. Dimana ada Haechan disitu ada Mark. Jaemin jadi merasa kasihan pada Renjun yang menjadi nyamuk disana.
"Ya? Apa?"
"Tadi lo gak tau ya?"
Bodoh. Jaemin baru saja datang mana tahu apa yang terjadi tadi.
"Ya mana gue tau, Haechan." Katanya sembari melepas jaket lalu ia sampirkan dilengan kanannya.
"Tau gak sih masa tadi Renjun ditabrak sama cowokㅡkeknya anak baru sih soalnya gue baru liat mukanya, sumpah tuh cowok minta ditonjok."
Sembari berjalan menuju kelas Jaemin dengan seksama mendengar cerita Haechan, oke Jaemin jadi penasaran dengan wajah orang itu. Berani-beraninya dia mengusik temannya.
"Terus apalagi?"
"Dia nyelonong aja gitu gak minta maaf atau apaㅡeeehh tuh tuh orangnya, yang pake jaket item." Haechan dengan heboh menunjuk seorang lelaki berbadan tegap dengan jaket hitam ditubuhnya.
Jaemin mengikuti arah tunjuk Haechan, dia sedikitㅡterpana dengan ketampanan cowok itu, hidungnya sangat mancung, rahangnya sangat tegas dan jangan lupakan tatapan matanya yang sedikit tajam.
Jaemin jadi penasaran siapa lelaki itu, dan Jaemin jadi ingin tahu lebih dalam tentang lelaki itu.
"Oh, terus?"
"Nabrak." Haechan merotasikan bola matanya malas, terlalu lelah meladeni Jaemin. "Udah gak ada lagi Jaem, cuma itu."
Jaemin hanya mengangguk kemudian kembali menatap lelaki tadi yang kini berjalan mendekat kearah merekaㅡah tidak, mungkin kearah kelas. Karena Jaemin melihat nametag yang dipakai lelaki itu didada kananya. Jaemin akan mengingat nama itu.
Lee Jeno. 11 IPA 1.
***
Aku bru pertama kli buat cerita bxb, jdi klo ga sreg maapin ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATIGUÉ | Nomin
Fanfiction❝ Jaemin lelah, bunda ... ❞ Jaemin sudah lelah dengan semuanya. ©Stvnptri, 2020