Saat itu, sepulang rapat di luar kantor, Aku menunggu gadisku di sebuah cafe yang sudah kami sepakati sebelumnya. Sengaja aku datang lebih awal, karena aku ingin memberinya sebuah kejutan, aku ingin melamarnya. Gadis yang sedari SMA aku cintai dan beruntungnya dia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Hubungan kami sudah berjalan hingga saat ini. Tak berapa lama aku melihatnya di pintu Cafe sambil mencari-cariku. Aku melambaikan tangan dengan senyuman yang selalu aku tampilkan.
"Udah lama Mas?" Tanyanya begitu duduk di kursi didepanku.
"Baru aja kok, Zia. Maafkan Mas, tadi dari rapat diluar, gak jemput kamu dulu."
"Iya Mas Azfar. Gak apa-apa kok. Udah pesan?"
"Belum. Pesan dulu sana, aku mau ke kamar mandi dulu." Suruhku.
Aku pergi ke kamar mandi untuk menghilangkan grogiku. Setelah kurasa tenang, aku kembali menghampirinya dan duduk di depannya. Bersamaan dengan pesanannya datang.
"Mas gak makan?" Tanyanya.
"Mas kan udah sayang, sekalian ama rapat tadi." Jawabku sambil mengusap kepalanya.
"Hehehe. Lupa." Ucapnya
"Kamu makan dulu deh."
Kubiarkan dia menyantap makanannya, sesekali dia bercerita tentang kegiatannya selama di departemen. Sebenarnya kami satu kantor tapi hanya beda departemen. Dia berada dibagian pembelian sedangkan aku berada di bagian perencanaan.
Kulihat dia sudah selesai dengan makannya. Dia menatapku dengan senyum manisnya yang membuatku jatuh cinta. Aku menggenggam tangannya, dia tersenyum dan tak jarang dia menggodaku.
"Takut ilang ya kok dipegangin?" Godanya.
"Iya. Abisnya manis banget pacarku."
"Gombal, Mas."
"Mas mau bicara serius denganmu." Ucapku, jujur jantung ini berdetak semakin kencang.
"Ada apa Mas?" Tanyanya serius.
"Zia, Kita udah pacaran lama dan Mas sudah cukup umur untuk menikah. Mas ingin segera menikahimu. Kamu mau jadi istri Mas?" Tanyaku.
Kulihat dia tersentak kaget dan langsung menarik tangannya dari genggamanku. Wajahnya menyimpan beban. Entah kenapa kurasakan firasat tidak enak.
"Kenapa Zia?" tanyaku
"Keyakinan kita berbeda, Mas."
"Bukannya dulu kamu mau pindah keyakinan demi bisa menikah denganku?" tanyaku.
"Iya, tapi keluargaku memiliki pengaruh yang kuat di keyakinan kami." kulihat dia mengusap wajahnya kasar.
"Dan juga bukannya dalam satu kantor gak boleh nikah ya?." Lanjutnya.
"Iya. Kamu bisa resign. Mas rasa dengan gaji Mas yang sekarang cukup untuk memenuhinya kebutuhan kita."
"Tapi Mas tau kan kalo aku ini tulang punggung keluarga? Bagaimana bisa aku berhenti kerja?" ucapnya terhenti
"Mas bisa membiayai keluarga kamu juga."