Halaman Pertama

13.6K 892 76
                                    

Jalanan malam nan sepi itu menemani kesendirian Ares selepas les. Ia sudah meminta omnya untuk menjemput, tetapi lelaki 30 tahun itu tak kunjung datang. Ares hampir menjadi es akibat udara dingin di sini. Namun, tak juga terlihat batang hidung omnya tersebut. Ares akan menggorok kepala Genta jika lupa. Ia bahkan sampai rela menunggu di pinggir jalan karena tak mau merepotkan Genta kalau harus masuk ke dalam. Ia mendecak keras.

Dari kejauhan ada suara mobil yang mendekat. Ares langsung antusias, segera saja ia merapat ke jalan untuk memastikan mobil milik siapa yang datang. Mobil itu berhenti tepat di hadapan Ares. Tidak, itu bukan mobil Genta. Ares mundur secara perlahan. Seingatnya Genta juga tidak pernah membawa mobil Alphard saat menjemput. Perasaan pemuda itu mendadak tak enak.

Secepat kilat, Ares berbalik. Hendak berlari. Namun, suara tegas yang amat Ares kenali itu terdengar.

"Arestya!"

Dengan terpaksa langkah itu terhenti. Jemari panjangnya saling bertaut, diiringi kepala si taruna yang menunduk takut. Sosok tinggi tegap berjas rapi itu keluar dari mobil. Kemudian menarik lengan Ares agar masuk ke mobil. Tarikannya tak terlalu kencang, tetapi mampu membuat Ares tersentak kaget. Ia langsung merapal berbagai doa dalam hati.

Ares terus menunduk. Sama sekali tak berani menatap pria yang berstatus sebagai ayah kandungnya.

"Kemarin Ayah sudah bilang, jangan les segala macem. Sekarang ini maksudnya apa? Kamu mau membangkang sama Ayah?"

Gelengan tegas terlontar dari Ares. Perlahan, ia kembali mengangkat kepala. Lantas menoleh ke sang ayah dengan tatapan lekat. "Aku cuma mau belajar biar bisa lulus seleksi olimpiade, Yah. Dan aku bayar les bukan dengan mencuri uang Ayah atau uang orang lain. Nggak bisa Ayah biarin aku sekali ini aja?"

Pemuda 16 tahun itu tampak kesal. Bulan lalu sang ayah menolak mentah-mentah saat Ares mengutarakan keinginannya untuk les tambahan agar bisa lolos seleksi. Adrian tampak sangat tak suka dengan semangat membara yang Ares punya hingga membunuh mimpi Ares, bahkan sebelum ia mencoba untuk mewujudkan.

Tangan Ares terkepal. Kebungkaman dari sang ayah adalah tanda kalau pria itu tak punya argumen untuk mendebatnya.

"Yah, kalau aku lolos dan menang, 'kan nanti Ayah juga yang bangga. Kenapa Ayah malah seolah-olah menghalangi aku begini?" ujar Ares tak habis pikir.

Adrian menghela napas sejenak. Kemudian mengurut pangkal hidungnya pelan. "Fagan bilang dia bisa memenangkan olimpiade kali ini. Ayah nggak mau kalian berdua ikut dan malah jadi saingan. Lebih baik salah satu dari kalian mengalah."

Jawaban dari Adrian barusan menjadi tamparan keras bagi Ares. Fagan, cowok yang seumuran dengannya itu ternyata adalah dalang di balik semua ini. Ares makin tak habis pikir. Sungguh, keluarganya benar-benar dimanipulasi oleh paras kalem milik cowok itu. Bahkan sang ayah pun sampai berani berbuat sejauh ini.

Bohong kalau saat ini Ares bilang dirinya tak sakit hati dan kecewa. Ares sudah banyak bersabar sejak kedatangan ibu dan saudara tirinya tersebut. Ia muak. Sangat muak.

"Tahun lalu aku sudah mengalah, Yah. Dia itu nggak pintar. Buktinya tahun lalu dia kalah. Padahal seharusnya kalau aku yang maju, aku bisa menang. Tapi apa? Aku mundur bahkan sebelum sempat berperang. Dan sekarang Ayah meminta aku untuk mengulangi kesalahan bodoh itu lagi? Nggak. Aku nggak mau. Nggak akan!"

"Jangan bicara sembarangan. Dia bisa diandalkan. Ayah juga sudah terlanjur berjanji dengan dia," kata Adrian.

Ares kehabisan kata. Ia membuang pandang ke luar seraya memejam erat. Menikmati sesaknya kesal yang menyusup jauh ke dalam relung hati. Memporak-poranda segala yang ada di sana sampai tak bersisa.

Segenggam Asa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang