Halaman Ketiga

5.6K 795 75
                                    

Sinar dari sang surya yang jatuh menimpa bumi, sampai ke kamar Ares melalui gorden di jendela. Lantas hal pertama yang cowok itu lihat ketika membuka mata adalah wajah lelap sang kakak. Ares mengernyit sejenak, sebelum akhirnya menyingkirkan tangan besar Endra dari atas tubuh. Ia menguap lebar sambil meregangkan badan.

Tatapannya kembali jatuh pada sosok jangkung yang masih tertidur pulas tersebut. Ia menggoyangkan lengan Endra pelan. "Kak, bangun."

Si jangkung mengeliat selama beberapa detik. Lalu setelahnya ia duduk tegap sambil memerhatikan wajah bantal Ares dengan saksama. "Tadi malam tidurnya nyenyak?"

"Iya. Aku nggak inget semalam mimpi atau enggak."

Endra tersenyum lega. Kehadirannya di sini bertujuan untuk memastikan bahwa sang adik tidur dengan mimpi buruk yang menghantui. Karena jika sedang di bawah tekanan, Ares kerap kali dihampiri mimpi buruk. Endra tahu hari Ares sudah buruk, jangan lagi ditambah dengan mimpi tak mengenakkan yang kadang memang sangat mengganggu.

"Nanti lukanya diobatin sama Mel, ya, Dek," kata Endra. Ia fokus pada lebam yang hari ini terlihat lebih jelas melekat di wajah Ares.

Ares menggeleng, "Gak mau. Kak Mel galak banget tau kalau sama aku."

Bibir pemuda itu mengerucut sempurna selepas mengucap kalimat tersebut. Sementara Endra hanya bisa terkekeh. Ia tak bisa menyangkal karena memang sifat Camelia sudah begitu adanya sejak mereka lahir.

"Ya udah. Kamu sekarang mandi dulu. Terus ke bawah, sarapan."

"Aku nanti siang aja makannya."

Alis tebal Endra saling bertaut. Tampak tak senang dengan jawaban yang taruna kurus itu lontarkan. Ia berucap tegas, "Dek."

"Aku nggak mau ketemu Ayah, Kak. Cukup kemarin aja aku dimarahin sama dia habis-habisan. Pagi ini biar dia berangkat kerja dengan tenang. Aku juga nggak sudi liat muka ibu dan anak yang kayak ular itu," kesal Ares. Ia menautkan jari sambil meremasnya gemas. Menjadikan mereka sebagai tempat pelampiasan.

"Ares," tegur Endra pelan.

Di rumah ini Ares merupakan satu-satunya manusia yang kontra dengan Fana serta sang ibu. Ia menjadi manusia yang paling menolak keras pernikahan antara Adrian
dan Fanya beberapa tahun silam. Namun, Ares tak bisa berlaku banyak. Adrian bukan tipikal ayah pecinta anak yang mau menggugurkan niatnya hanya karena sang anak yang meminta.

Hampir tiga tahun bersanding di bawah atap yang sama tak membuat pandangan Ares terhadap ibu juga saudara tirinya itu berubah. Mereka terlalu pandai mengambil hati Adrian, bahkan kakak kembarnya juga. Hingga menyisakan Ares seorang diri bersama opininya yang tak pernah mau didengar.

Sempat terjadi keheningan nan mencekam, dan terpecah sebab kedatangan seseorang ke dalam kamar Ares. Gadis dengan tampang galak itu masuk diiringi gaya angkuh yang tak pernah ketinggalan. Di tangannya ada sebuah, Ares yakin kalau itu berisi benda-benda yang berhubungan dengan medis.

Tanpa aba-aba, punggung tangan Camelia mendarat di kening Ares. Bertahan selama beberapa detik. "Lo pusing, Dek?" tanya gadis itu disertai nada agak mengintimidasi.

"Dikit," ujar Ares jujur.

"Habis ini mandi, terus sarapan. Kalau nanti siang suhu badan lo naik terus tambah pusing, langsung minum obat. Gue taruh di kotak ini. Ambil sendiri. Jangan manja. Ngerti?"

"Iya. Ngerti." Ares menjawab seadanya. Toh, ia sudah terbiasa mandiri. Kedua kakaknya itu terlalu sibuk untuk sekedar mengurusi Ares.

"Dia demam, Mel?" tanya Endra ikut nimbrung.

"Enggak. Adek kamu ini kan emang alay, dikit aja disentil langsung jadi letoy."

Ares sontak mendecak mendengar pernyataan Camelia. Tentu saja tak setuju dengan apa yang terucap dari lisan gadis itu. "Si Fagan tuh, dia gak disentil aja udah mau ambruk. Aku kasih sentilan dikit langsung begitu. Dia yang kayak rempeyek, tapi aku terus yang disalahin. Badan gede, tinggi, tapi letoy kayak cewek."

Segenggam Asa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang