Prolog

6 1 0
                                    

Gadis itu meletakkan liontinnya di atas meja belajar. Bandul berbentuk lingkaran itu terbuka dan suara denting piano yang menenangkan samar-samar terdengar.

Melodi yang ia namai "Memories" itu mengalun syahdu. Seolah terhipnotis, gadis bersurai coklat gelap nan panjang itu meletakkan kepalanya di atas buku pelajaran Fisika yang masih terbuka, lalu memejamkan mata.

Perlahan, alunan nada yang lembut itu membuatnya menutup mata, membawanya kembali ke masa lalu. Kembali pada saat keluarganya masih utuh dan bahagia.

Gelak tawa saat piknik keluarga pada siang itu di tengah taman terdengar nyata, kendati semuanya ⏤mulai dari suhu udara yang hangat, mentari yang cerah, angin sepoi-sepoi yang meniup rambut panjang ibunya, hingga kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah dan tawa kedua saudaranya⏤ hanyalah sepenggal ingatan Sora semata. Tetapi Sora tak mengapa. Gadis itu merindukan mereka. Sangat.

"Kak Sora! Tolong! Kyaahahahaha!"

Pekik bocah laki-laki itu terdengar nyaring, kemudian diakhiri dengan tawa karena seorang pemuda tampan bertubuh tinggi tegap, yang memiliki warna rambut yang sama dengan Sora berhasil menangkapnya, lalu menggelitiki pinggang bocah itu.

"Loudy, sudah. Nanti adikmu susah tidur," lerai Airin, ibu Sora yang sesekali tertawa melihat putra sulungnya yang gemas terhadap kelakuan si Bungsu.

"Ayo duduk, Anaka-anak. Istriku tercinta sudah membuatkan sandwich tuna super lezat untuk kita semua," panggil Adhya, ayah Sora

"Tapi Mama lebih bahagia menjadi ibuku daripada menjadi istrimu, Yah," goda Loudy, kakak sulung Sora sambil memeluk ibunya dari samping dan menjulurkan lidah ke arah ayahnya.

Sang Bunda kembali tertawa, Loudy tersenyum jahil, tawa si bungsu Sky, serta senyuman geli ayah Sora. Semuanya terasa begitu nyata. Lengkap dengan angin sepoi-sepoi yang membelai lembut wajah Sora.

Sayangnya, keceriaan itu tidak bertahan lama. Baru beberapa menit Sora kembali merasa bahagia karena kenangan yang terasa nyata itu, awan gelap yang sangat pekat tiba-tiba menghalangi sinar mentari. Pada saat itulah semuanya mendadak hening.

Ekspresi Sora mengeruh ketika melihat sendiri satu per satu anggota keluarganya menjadi transparan, kemudian tidak berbekas sama sekali. Mulai dari ibu, kakak, kemudian adiknya.

Tubuhnya mendadak kaku, seolah tersihir. Baik kaki, tangan, hingga lidahnya tidak bisa bergerak untuk meraih ataupun memanggil keluarganya yang perlahan menghilang. Tidak peduli seberapa keras Sora berusaha melawan, mereka tetap pergi. Membuat Sora kembali seorang diri.

Gadis itu menunduk saat kegelapan mulai meliputi. Ia hampir menyerah. Kebahagiaan yang berusaha ia genggam sekuat tenaga, sebagai pegangan agar ia bisa menjalani hari ini dan menyambut hari esok, sudah tidak ada lagi.

" ... Sora"

Sang pemilik nama seketika mengerjap cepat karena suara yang ia kenal sedang memanggilnya.

Semula, suara itu terdengar samar-samar, tetapi semakin lama, suara itu semakin jelas. Bersamaan dengan setitik cahaya dari kejauhan, Sora perlahan mengenali pemilik suara itu.

"Oh iya!"

Sora hampir lupa. Masih ada satu alasan ia menetap di Indonesia. Alasan terakhir mengapa gadis itu menolak ajakan sang ayah untuk pindah ke Jepang setahun yang lalu. Alasan yang sama, yang membuat Sora bisa bertahan melawan kesendiriannya.

Sebuah janji yang tidak bisa ia ingkari.

Sebuah janji yang tidak bisa ia ingkari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tebing Sang LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang