nevada

750 76 2
                                    


Jimin sudah tidak kuat lagi berjalan. Tubuhnya seperti karung yang terlempar begitu saja ke tanah. Ia jatuh terjerembab di tumpukan salju tebal setelah tersandung batu. Dinginnya terasa menusuk tapi hanya sebentar, paling-paling sedetik, karena selebihnya yang ia rasa adalah panas membakar seolah-olah es yang menadahi tubuhnya adalah lahar kental. Kemudian mereka juga sirna, digantikan oleh kebas yang membuatnya hampa, serasa tidak punya badan. Otaknya sudah tidak bisa berfungsi dengan baik. Syarafnya menyerah untuk bekerja. Dia tidak bergerak setelah jatuh, teronggok saja di jalan luas yang redup dan sepi itu.

Kemudian seseorang yang misterius datang. Walau sudah setengah mampus, Jimin masih bisa melihat bahwa orang itu memiliki rambut yang sewarna dengan salju yang baru turun; begitu putih, dan dia mengenakan selembar kain mirip selimut yang diikat, menggantung di pundak dan ujung-ujungnya berkibar terbawa lintang angin dan hujan salju yang deras.

Orang itu memandangnya dari kejauhan. Walau tidak sempurna ia menerka, Jimin merasa bahwa tatapan itu amatlah lekat, layaknya si rambut putih itu memang melihat kepadanya dengan suatu tujuan. Jimin yang sudah teler mengira bahwa malaikat maut datang menjemput. Dia memejamkan mata dan siap dibawa ketika sosok itu menghampirinya. Dia bahkan berusaha mengulurkan tangannya, karena siapa tahu si malaikat maut mau menuntunnya pergi dari situ. Walau ada sedikit penyesalan, tapi ia kira lebih baik ada ujung dari semua penderitaan ini. Ia sudah tak mau lagi minum air kencingnya sendiri gara-gara kelaparan dan frustrasi butuh kehangatan.

"Kukira kau mayat!"

Kemudian matanya terbuka lagi setelah mendengar suara teriakan kasar yang menyaru dengan deru badai itu. Ia tahu tubuhnya merespon dengan keterkejutan, walau tidak bisa diperlihatkan lewat ekspresi atau juga gelagat. Ketika melihat wajah itu dari jarak yang dekat, Jimin juga baru sadar kalau rasa-rasanya, ketegangan sekaligus ketakutan dan kepasrahan akan maut yang tadi eksis dan kuat menjadi larut dalam sebuah perasaan aneh yang seketika muncul menguasai. Mata biru itu, dan titik-titik salju yang menempel di rambut dan pundaknya, nampak begitu familier, sebab serupa dengan apa yang kebanyakan orang miliki, bukan seperti rupa malaikat maut yang disebut-sebut sangat mengerikan. Lama-lama Jimin merasa kalau ia sudah ditipu oleh pikirannya sendiri, dan ia pun merumuskan bahwa—ah, sepertinya aku tidak bakal mati di sini.

"Kau masih bisa bangun apa tidak!"

Dia tidak lagi punya energi. Tadinya malah mau menyerah saja, tapi entah mengapa, teriakan dengan nada membentak itu seolah-olah menjadi stimulan bagi otaknya untuk aktif kembali, meski baru dari bagian terkecil dalam sel-selnya. Dalam hitungan menit Jimin belum lagi dapat berbicara atau pun menggerakkan tangan dan kakinya, sehingga tidak ada kata yang terucap dari bibir dan tidak ada pula tindakan yang ia lakukan ketika tubuhnya kemudian digerakkan, untuk dibawa duduk atau berdiri kalau masih bisa.

"Hei, sadar! Aku pikir kau masih punya tenaga untuk keluar dari badai salju ini! Kita harus keluar!"

Pipinya ditepuk-tepuk. Jimin memandangi orang itu dengan tanda tanya, karena dia tak tahu dari mana si rambut putih ini mendapat kekuatan yang begitu besar untuk berteriak seperti itu. Mana lagi yang membungkus tubuhnya hanya selimut, lainnya berupa kaos panjang dan celana jeans. Jimin melihat bagian depan sepatunya converse high-nya yang ternganga. Pasti dia sudah berjalan jauh terseok-seok sampai sepatunya bisa rusak seperti itu. Seharusnya dia sudah gila. Atau justru dia memang sudah gila karena sanggup menembus badai selebat ini.

"Siapa..." Bibirnya bergerak kaku. Dia berusaha untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang dia miliki untuk bicara.

"Siapa apanya!"

"Siapa... namamu!" bibirnya serasa pecah ketika ia dapat meneriakkan itu.

"Apa itu penting!"

Jimin mengepalkan jari-jarinya yang sekeras es batu. Dia meremat kain pakaian orang itu, kemudian menekuk kakinya yang ternyata masih bisa ditekuk. Ia berkata, "...penting!"

Idiotic Metaphor: NevadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang