Prolog

41 5 4
                                    

Suatu senja di tepi Danau Brienz, tampak seorang gadis tengah duduk termenung. Ia mengenakan setelan oversized sweater berwarna pastel cadillac pink, The Farrah High Waist Raw Hem Ankle Skinny Jeans, and Vince Camuto Gigietta Bottie berwarna Tortilla Suede. Rambutnya yang ikal dibiarkannya tergerai dan tertiup angin. Tak terasa sudah tiga jam lamanya, ia terdiam seorang diri.

Tidak banyak aktivitas yang ia lakukan. Tatapan matanya pun tampak kosong. Sesekali, bola matanya mengikuti Lake Brienz Cruise[1] yang melintas. Pemandangan Castle Iseltwald yang menawan, permukaan air Danau Brienz yang tenang, serta dinginnya angin musim gugur seakan menjadi terapi bagi hati gadis berusia dua puluh delapan tahun itu.

Tiba-tiba sehelai daun maple berwarna merah jatuh di pangkuannya. Perlahan, ia memungutnya dan memperhatikan kelima sisi daun yang lancip. Wahai ... maple, sampaikan salam rinduku pada Rama. Saat ini, aku ingin sekali mendekap erat dalam pelukannya. Hati dan pikiranku sudah lelah. Haruskah aku melupakan Rama?

“Shylla ... haluatko latteen[2]?” tanya seorang pria dari arah belakang membuat Shylla sedikit tersentak.

“Tentu saja. Kau memang sahabat terbaik, Ganesh,” jawab Shylla sembari tersenyum.

Alis Shylla tampak berkerut saat menerima segelas latte dari sahabatnya. “Kenapa kau menggambar pohon di atas latte ini?”

“Aku ingin kau bisa sekokoh pohon itu, saat harus menghadapi badai besar sekalipun. Layaknya daun maple dalam genggamanmu. Ia selalu mampu bertahan di segala musim,” jelas Ganesh.

“Bukankah daun maple ini memiliki arti kesetiaan? Jadi, tidak ada salahnya bukan jika aku pun tetap setia menunggu Rama?” tanya balik Shylla seakan mencari pembenaran kegalauan hatinya.

“Mau sampai kapan kau akan bertahan menunggu kehadiran seseorang yang sudah meninggal?”

Shylla hanya terdiam. Ia pun tak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Ganesh. Bagaimana aku bisa menghapus jejak Rama dari relung hati ini, jika bayangannya masih setia bersemayam dalam pikiran, keluh Shylla di dalam hati.

Sejenak, suasana menjadi hening. Hanya terdengar serak-serik daun maple yang tertiup angin. Ganesh dan Shylla pun asyik menikmati segelas latte dalam genggaman masing-masing.

“Ganesh. Tahukah kamu, apa yang diucapkan Rama saat menyematkan cincin pertunangan ini?” tanya Shylla sembari memainkan cincin berlian di jari manis tangan kirinya.

Mitä se sanoi[3]?”

“Kusematkan cincin pertunangan ini di jari manismu karena di jari manis inilah terdapat vena amoris, yang memiliki arti vena cinta sebagai tanda keterikatan cinta abadi kita,” ucap Shylla dengan suara bergetar.

“Jadi, apa kau sudah memutuskan untuk selalu menjaga kesetiaan hatimu hanya untuk Rama?”

“Entahlah,” jawab singkat Shylla seraya menatap kosong pada barisan bukit di seberang danau.

Shylla, andai kau tahu betapa tulusnya rasa cinta dan sayang yang sudah lama kupendam ini, batin Ganesh dengan tatapan mata yang tajam ke arah gadis yang dicintainya selama sebelas tahun.

 

[1] Kapal wisata di danau Brienz.

[2] Apa kamu mau latte?

[3] Apa yang dikatakannya?

Lost in HelsinkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang